Postingan

Menampilkan postingan dari April 23, 2025

Takdir di Ujung Doa Bab 6

Gambar
  Bab 6 "Kata yang Menyentuh Luka Tersembunyi" Malam itu hujan turun perlahan, seperti irama doa-doa yang diam-diam dipanjatkan di sela kegelisahan. Aku duduk di ruang tamu, memintal benang jahitan di tanganku yang sebenarnya tak perlu-perlu amat diperbaiki. Sekadar mencari alasan untuk sibuk, agar pikiranku tak perlu menari-nari lagi di atas nama yang seharusnya sudah lama kukubur dalam sujud. Fathan duduk di seberangku, membaca kitab kuning dengan kaca mata tipisnya. Wajahnya tenang — selalu tenang, seperti danau yang mampu memantulkan langit tanpa sedikit pun berguncang. Sesekali, ia mengangkat wajah, memandangku lama. Tatapan itu bukan tatapan curiga, bukan pula marah. Hanya tatapan seorang lelaki yang sudah terlalu dalam memahami perempuan yang ia cintai. "Ada yang ingin kau ceritakan, Naya?" Suaranya rendah, dalam, namun penuh kelembutan. Aku menggeleng, memaksa senyum tipis. "Tak ada apa-apa, Abang." Ia tersenyum, senyum yang justru...

TAKDIR DI UJUNG DOA BAB 5

Gambar
  Bab 5 "Kehormatan yang Dipertahankan dalam Diam" Pagi di rumah kami selalu sederhana. Suamiku, Fathan, menyeduh kopi hitam seperti biasa, sementara aku menyapu halaman kecil yang dihiasi bunga-bunga kertas pemberian tetangga. Kami tidak hidup dalam kemewahan, tapi juga tidak pernah berkekurangan. Cukuplah rumah mungil ini menjadi saksi bisu tawa-tawa kami, doa-doa panjang yang kami panjatkan selepas isya, dan bisikan syukur setiap kali matahari terbit membawa harapan baru. Fathan, dengan jubah putih dan tasbih yang jarang lepas dari tangannya, adalah lelaki yang menghidupkan agama bukan hanya di lisannya, tetapi juga dalam caranya memperlakukanku: dengan sabar, dengan penuh kasih, dan dengan hormat yang membuatku merasa dimuliakan. Meski rumah kami masih sunyi dari tawa anak-anak, tak pernah sekalipun kudengar keluhan keluar dari bibirnya. Setiap malam, ia berdoa panjang, suaranya lirih, namun aku tahu... doa-doa itu selalu menyebut namaku dengan penuh cinta. Ak...

Takdir di Ujung Doa Bab 4

Gambar
  Bab 4 "Rasa yang Belum Bernama" Dulu, sebelum dunia menjadi serumit sekarang, sebelum janji-janji diucapkan dan hati-hati disakiti, kami hanya dua jiwa muda di sebuah pesantren ternama, belajar mencari makna hidup, tanpa tahu bahwa kelak hidup kami akan saling bertaut tanpa pernah benar-benar bersatu. Aku mengenalnya dari kejauhan. Bukan melalui kata, bukan melalui sapa. Hanya tatapan sekilas di koridor mushalla, atau saat antri di perpustakaan usai shalat maghrib. Naya, dengan gamis biru langit dan kerudung yang selalu rapi, seolah membawa keteduhan ke mana pun ia melangkah. Ada cara dia menundukkan pandangan, menjaga sikap, membuat siapa pun segan sekaligus diam-diam mengagumi. Aku? Aku hanya remaja biasa, mencoba menjadi alim, namun diam-diam berperang melawan sesuatu yang belum kumengerti: rasa yang muncul setiap kali bayangnya melintas di pelupuk mata. Tidak ada kata-kata yang keluar. Tidak ada sapaan yang menodai adab. Hanya sebuah rahasia kecil yang ...

Takdir di Ujung Doa Bab 3

Gambar
  Bab 3 "Kesetiaan yang Membebat Luka" Malam itu, langit seperti mengerti gelisahku — tanpa bintang, hanya hitam yang kosong. Aku duduk di beranda rumah, ditemani secangkir kopi yang mendingin, dan pikiran yang semakin memanas oleh bayangannya. Naya. Nama itu mengendap di dadaku, bukan sebagai dosa, tapi sebagai doa yang tak pernah kutuntaskan. Aku mencintainya, dalam bentuk cinta yang tak menginginkan, tak meminta, hanya merelakan. Ponselku berbunyi, satu pesan dari Naya: "Semoga kita kuat, untuk tidak merusak apa yang telah Tuhan berkahi." Aku tersenyum getir. Ia selalu tahu cara menjaga jarak, bahkan dalam kata-kata. Aku mengetik balasan, lama sekali: "Cinta yang benar, Naya, adalah yang sanggup berdiri dalam badai tanpa pernah melukai perahu lain yang sedang berlayar." Aku bukan lelaki yang sempurna. Tapi aku tahu: setia bukan hanya soal bertahan pada satu nama, melainkan juga bertahan pada janji suci yang sudah kuucapkan di hadapan Tuha...

Takdir di Ujung Doa bab 2

Gambar
  Bab 2 "Takdir yang Tidak Bisa Dipilih" Langit sore itu seperti lukisan yang dilupakan Tuhan di sudut kanvas dunia — pucat, namun tetap indah dalam keheningan. Aku duduk sendirian di sudut aula, sementara Naya melangkah perlahan ke arahku, membiarkan suaranya mengisi ruang kosong di antara kami. "Setiap jiwa," katanya pelan, "sudah digariskan jalannya, bahkan sebelum ia sempat memilih siapa yang akan ia cinta." Aku hanya menatap, membiarkan setiap katanya meresap ke dalam dada yang entah kenapa terasa semakin sempit. Naya menatapku dengan mata teduh, matanya bukan mata seorang perempuan lemah, melainkan mata yang pernah berperang — dan menang — melawan takdir yang menyakitkan. "Arka..." Ia menyebut namaku seolah-olah itu adalah sebuah doa yang hanya boleh diucapkan sekali, lalu disimpan selamanya. "Ada rasa yang harus cukup dipeluk dalam diam. Karena tidak semua yang kita rindukan, harus kita genggam." Aku menunduk. Aku kalah...