Takdir di Ujung Doa Bab 6

Bab 6 "Kata yang Menyentuh Luka Tersembunyi" Malam itu hujan turun perlahan, seperti irama doa-doa yang diam-diam dipanjatkan di sela kegelisahan. Aku duduk di ruang tamu, memintal benang jahitan di tanganku yang sebenarnya tak perlu-perlu amat diperbaiki. Sekadar mencari alasan untuk sibuk, agar pikiranku tak perlu menari-nari lagi di atas nama yang seharusnya sudah lama kukubur dalam sujud. Fathan duduk di seberangku, membaca kitab kuning dengan kaca mata tipisnya. Wajahnya tenang — selalu tenang, seperti danau yang mampu memantulkan langit tanpa sedikit pun berguncang. Sesekali, ia mengangkat wajah, memandangku lama. Tatapan itu bukan tatapan curiga, bukan pula marah. Hanya tatapan seorang lelaki yang sudah terlalu dalam memahami perempuan yang ia cintai. "Ada yang ingin kau ceritakan, Naya?" Suaranya rendah, dalam, namun penuh kelembutan. Aku menggeleng, memaksa senyum tipis. "Tak ada apa-apa, Abang." Ia tersenyum, senyum yang justru...