Postingan

Menampilkan postingan dari April 30, 2025

Bab 7 Kampung Mayit

Gambar
  Bab 7: Malam Yang Tak Bertuan Malam semakin pekat saat Haidar, ditemani Husna dan Budi yang setengah gemetar, melangkah cepat menuju rumah Pak Hamim, kepala desa. Langkah mereka diseret angin dingin yang seolah mengawasi dari balik pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Dengan suara tertahan, Haidar menceritakan apa yang terjadi — tentang Roy yang hilang tanpa jejak, tentang tingkah laku Devi dan Jaza yang kian ganjil. Pak Hamim menghela napas berat, pandangannya kelam. "Kita harus gerak cepat," katanya. "Aku akan hubungi Pak Kromo. Kita cari Roy malam ini juga." Tak lama kemudian, Pak Kromo datang dengan wajah keras dan pandangan tajam. Mereka kembali ke rumah tinggal KKN bersama beberapa orang kampung, membawa lampu petromaks yang mengusir sebagian kecil dari kegelapan yang terasa menelan dunia. Namun, setibanya di sana, suasana menjadi lebih buruk dari yang dibayangkan. Di ruang tamu, Jaza tengah terduduk, tubuhnya menggigil aneh. Wajahnya menunduk, ra...

Bab 9 Takdir di Ujung Doa

Gambar
  Bab 9 "Tali Silaturahim yang Menyimpan Luka" Udara sore itu beraroma tanah basah. Langit mulai memerah, seakan malu melihat apa yang diam-diam bergemuruh di dada kami. Reuni berakhir dengan derai tawa, peluk tangan, dan janji untuk tidak lagi terlalu lama melupakan satu sama lain. Aku, Fathan, dan Arka bertemu di lorong kecil dekat taman belakang pondok — seolah takdir sengaja mempertemukan kami sekali lagi sebelum hari benar-benar gelap. Arka mendekat dengan langkah santun, menundukkan pandangannya penuh hormat kepada Fathan. "Bang Fathan," sapanya dengan suara rendah, "jika suatu saat membutuhkan bantuan untuk mengembangkan pesantren... saya siap. Tenaga, pikiran, apa pun yang bisa saya lakukan." Fathan tersenyum hangat, menepuk pundaknya, "Syukron, Arka. InsyaAllah, ukhuwah kita tetap terjaga." Aku hanya berdiri di sisi Fathan, menggenggam tangan suamiku lebih erat. Tapi jantungku berdetak lebih kencang, tanpa bisa kuperintah. Dal...

Bab 8 Takdir di Ujung Doa

Gambar
  "Pertemuan yang Tak Lagi Sama" Hari itu langit mendung tipis, seolah menyimpan rintik-rintik yang enggan jatuh. Kami berkumpul di halaman pondok pesantren lama, tempat segala mimpi pernah bertumbuh — juga tempat beberapa mimpi harus dikuburkan dalam-dalam. Acara reuni ini bukan sekadar pertemuan teman lama. Ada tradisi sakral: ziarah ke makam para wali yang menjadi bagian dari sejarah pondok ini. Ratusan santri berdatangan, membawa tasbih, membawa kenangan, membawa harapan. Aku menggenggam erat tangan Fathan, merasa lebih tenang dengan sentuhan hangatnya di sela-sela telapak tanganku. Kami berjalan beriringan, bersama rombongan lain, menuju makam para kiai pendiri pondok. Dan di antara kerumunan, mataku menangkap sosok itu. Arka. Aku mengenalinya secepat aku mengenali desah napasku sendiri. Ia tampak gagah, lebih dewasa, membawa seorang wanita bersyal putih — istrinya — dan seorang anak kecil yang menggenggam tangannya dengan polos. Waktu seakan berhenti berd...