Bab 7 Kampung Mayit

 

Bab 7: Malam Yang Tak Bertuan

Malam semakin pekat saat Haidar, ditemani Husna dan Budi yang setengah gemetar, melangkah cepat menuju rumah Pak Hamim, kepala desa.
Langkah mereka diseret angin dingin yang seolah mengawasi dari balik pohon-pohon besar di sepanjang jalan.

Dengan suara tertahan, Haidar menceritakan apa yang terjadi — tentang Roy yang hilang tanpa jejak, tentang tingkah laku Devi dan Jaza yang kian ganjil.

Pak Hamim menghela napas berat, pandangannya kelam.

"Kita harus gerak cepat," katanya. "Aku akan hubungi Pak Kromo. Kita cari Roy malam ini juga."

Tak lama kemudian, Pak Kromo datang dengan wajah keras dan pandangan tajam.
Mereka kembali ke rumah tinggal KKN bersama beberapa orang kampung, membawa lampu petromaks yang mengusir sebagian kecil dari kegelapan yang terasa menelan dunia.

Namun, setibanya di sana, suasana menjadi lebih buruk dari yang dibayangkan.

Di ruang tamu, Jaza tengah terduduk, tubuhnya menggigil aneh.
Wajahnya menunduk, rambut menutupi sebagian wajahnya. Dari mulutnya terdengar gumaman lirih — bukan dalam bahasa yang mereka pahami.

Saat Pak Kromo dan Haidar mendekat, tiba-tiba Jaza mengangkat wajahnya.

Matanya terbuka lebar — namun putih semua, tanpa pupil.

Dari mulut Jaza, mengalir suara berat yang bukan suara manusia.

"Sengaja...
telah dipanggil...
yang dahulu tertahan...
kau... kau membangunkan kami..."

Semua yang ada di sana terdiam, ngeri membeku.
Jaza lalu tertawa kecil, tawa patah-patah seperti suara pintu berderit.

Pak Kromo dengan sigap memberi isyarat pada Haidar.

"Segera bawa dia ke Pak Faisal. Dia butuh ditangani sebelum makin dalam," katanya cepat.

Haidar dan dua orang kampung membantu membawa Jaza yang tubuhnya kini kaku seperti batang kayu, namun berat seolah ribuan tangan menahannya.

Sementara itu, Pak Kromo bersama beberapa pemuda desa bersiap masuk ke hutan kecil di belakang rumah untuk mencari Roy, berpacu melawan malam yang menebarkan bisikan aneh di setiap sudut.

Tinggallah Husna, Budi, dan Devi di rumah itu.

Husna menggenggam erat mushaf kecil yang diberikan Pak Faisal sebelumnya, bibirnya bergetar melafalkan ayat-ayat perlindungan.
Budi duduk meringkuk di sudut ruangan, wajahnya pucat pasi, seluruh tubuhnya bergetar hebat.

Devi duduk diam di kursinya, tapi sesekali tertawa kecil, lalu menangis tanpa suara, lalu tertawa lagi — seakan ada dua jiwa dalam tubuhnya yang bertengkar tanpa akhir.

Suasana makin menyesakkan.
Dari loteng rumah, terdengar suara langkah kecil berlarian.
Kadang terdengar suara bisikan lirih, seperti anak kecil bermain sambil tertawa cekikikan.

Budi tak kuat. Saat terdengar suara benda berat diseret di atas langit-langit rumah, ia berteriak kecil dan... tanpa sadar, air hangat mengalir membasahi celananya.

Husna, dengan gemetar, tetap membaca ayat kursi berulang-ulang, meski lidahnya terasa kelu.

Lampu minyak bergoyang diterpa angin yang tak jelas dari mana datangnya.
Bayangan-bayangan menari di dinding, seolah mengolok-olok ketakutan mereka.

Dan Devi, di tengah kekacauan itu, mulai berbisik.

"Roy... sudah ketemu...
Tapi bukan kita yang temukan..."

Ucapan itu membuat darah Husna dan Budi membeku.

Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya.
Malam itu, kampung Mayit menunjukkan sebagian kecil dari rahasia kelamnya.

Dan semua baru saja dimulai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAKDIR DI UJUNG DOA BAB 5

Bab 1 -3 KAMPUNG MAYIT

Takdir di Ujung Doa BAB1