Bab 12-14 Takdir di Ujung Doa
Bab 12
"Kepekaan Hati Seorang Istri"Rumah tangga Arkha dan istrinya, Hana, berjalan dalam kedamaian yang berlandaskan iman.
Hana bukan sekadar istri di atas kertas;
dia adalah sahabat dalam doa,
teman dalam perjuangan,
dan penyejuk dalam badai kehidupan.
Namun perempuan yang kuat agamanya,
juga diberikan Allah sebuah karunia:
hati yang tajam dalam merasakan.
Tanpa perlu banyak kata,
Hana membaca gelisah di mata suaminya.
Ada sesuatu yang bergetar pelan setiap kali nama Naya disebut,
ada tatapan kosong yang kadang menahan kenangan —
kenangan yang tidak pernah sempat mati.
Suatu malam, ketika bintang bertaburan malu-malu di langit,
Hana memecah keheningan.
Dengan suara lembut namun tegas,
ia duduk di samping Arkha, memandang wajah suaminya yang teduh namun lelah menahan rasa.
"Abang..."
sapanya lirih.
"Aku tahu... hati abang menyimpan sesuatu yang belum sepenuhnya bisa dipadamkan."
Arkha terdiam.
Nafasnya terasa berat.
Dibalik tenang wajahnya, ada badai yang berusaha ia jinakkan.
Hana melanjutkan,
"Aku tahu cinta tidak selalu bisa dikendalikan,
sebagaimana takdir yang kita terima dengan lapang dada.
Jika abang merasa...
bahwa Naya adalah bagian dari jalan abang,
aku rela."
Suaranya bergetar.
Ada air mata yang jatuh tanpa dipinta,
bukan karena benci,
tapi karena beratnya mengikhlaskan.
"Aku rela," ulangnya, "asal semuanya tetap dalam batasan yang Allah ridai."
Arkha menggenggam tangan istrinya erat-erat.
Mata lelakinya memerah menahan gelombang emosi yang hampir meluap.
"Hana..."
katanya pelan,
"Aku bukan malaikat. Aku tahu rasaku.
Tapi aku pun tahu bahwa saat ini,
aku belum pantas meminta lebih."
Dia menarik nafas panjang, menatap mata istrinya dengan penuh penghormatan.
"Bagiku, setia itu bukan hanya tentang siapa di sisi kita,
tetapi tentang bagaimana menjaga hati agar tidak menjadi hina di hadapan Allah.
Naya... biarlah tetap dalam doaku,
bukan dalam pelukanku."
Malam itu, mereka berdua menangis dalam doa masing-masing.
Menangis bukan karena kalah,
tetapi karena memilih jalan yang lebih berat:
jalan menahan,
jalan menjaga,
jalan mencintai dalam diam yang mulia.
Di langit, bulan mengintip dari balik awan,
seakan ikut bersaksi bahwa cinta sejati bukan selalu tentang memiliki,
tetapi tentang mengikhlaskan,
tentang menunggu waktu Tuhan dengan penuh sabar dan taqwa.
---
Bab 13
"Membangun Diri, Menimbang Rasa"
Hari-hari berlalu seperti musim yang enggan beranjak.
Di tengah kesibukan membina pesantren yang kini semakin berkembang,
aku menemukan diriku —
bukan sebagai istri, bukan sebagai bayang-bayang masa lalu,
tetapi sebagai aku yang baru.
Aku belajar berdiri sendiri,
menyulam hari dengan doa,
menenun malam dengan sabar,
membangun jati diri di atas puing-puing kehilangan.
Namaku mulai dikenal.
Bukan hanya sebagai istri almarhum Fathan,
tetapi sebagai Naya —
seorang wanita yang tegar dalam kelembutan,
seorang janda muda yang tetap menjaga marwahnya di tengah badai fitnah zaman.
Dalam perjalanan itu,
datanglah seorang lelaki.
Bukan orang asing di kalangan ulama,
seorang yang punya ilmu, punya pengaruh,
dan punya niat yang luhur:
meminangku.
Lelaki itu, lewat perantaraannya, meminta bantuan Arkha untuk menyampaikan maksud hatinya.
Sore itu, di serambi pesantren yang mulai sepi, Arkha memanggilku.
Dengan suara yang lebih berat dari biasanya,
ia mengawali:
"Naya..."
"Aku diamanahi untuk menyampaikan sesuatu,
sebuah niat baik dari seorang sahabat yang memuliakanmu dalam pandangannya."
Aku mendengarkan dengan tenang,
namun hatiku bergetar perlahan.
Arkha melanjutkan, suaranya pelan, seolah menimbang setiap kata:
"Dia...
bukan lelaki yang sempurna, Naya.
Tak sebaik Fathan dalam hal kelembutan,
tak seanggun Fathan dalam mencintai dengan tenang."
Matanya menatap jauh ke depan,
seakan tak berani menatap mataku langsung.
"Tapi dia berjanji akan berusaha menjadi pakaian untukmu,
seperti doa para kekasih yang saling menutup aib satu sama lain."
Aku menunduk.
Hatiku semakin rapuh mendengar caranya berbicara.
Ada getar yang lebih jujur daripada sekadar lamaran.
Dan di sela-sela kata resminya,
terdengar pula bisikan yang tak terucap:
"Jika aku boleh memilih dunia, aku akan memilih mendampingimu, Naya.
Tapi aku tahu,
aku hanya penjaga dari jauh,
penjaga yang tak pernah berharap lebih dari sekadar melihatmu bahagia di jalan yang diridai Allah."
Namun tak ada satu pun dari bisikan itu yang keluar dari bibirnya.
Semua dikuburnya dalam dada yang luas,
dengan kesabaran seorang lelaki yang tahu:
cinta bukan selalu untuk dimiliki,
kadang hanya untuk didoakan dari jauh.
Aku mengangguk perlahan,
menerima kabar itu dengan lapang dada,
meski dalam hati, ada sesuatu yang terkoyak lagi.
Di bawah langit jingga senja,
kami kembali diam —
diam yang penuh rasa,
diam yang dipagari norma.
Dan di antara jeda itu, aku berbisik dalam hati:
"Ya Allah, tuntunlah hatiku,
agar memilih bukan karena luka,
bukan karena sepi,
tetapi karena Engkau telah menulis takdirku jauh sebelum aku mengenal cinta ini."
---
Bab 14
"Keikhlasan yang Membakar Luka"
Malam itu, angin berhembus pelan di beranda rumah Arkha.
Hana, istrinya yang shalihah, menyuguhkan teh hangat,
lalu duduk di samping suaminya yang tampak termenung jauh.
"Abang..."
sapanya lembut,
"Kenapa akhir-akhir ini kulihat mata abang seperti langit yang mengandung hujan?"
Arkha tersenyum tipis.
Tak ada kata-kata yang keluar, hanya helaan nafas panjang.
Dengan keberanian seorang wanita yang tulus mencintai karena Allah,
Hana menggenggam tangan suaminya erat-erat.
"Abang," lanjutnya,
"aku tahu tentang niat sahabatmu meminang Naya.
Dan aku tahu pula...
siapa yang diam-diam abang doakan setiap malam di sela sujud panjangmu."
Arkha menunduk, rasa bersalah mengulum dadanya.
Hana tersenyum,
senyum yang lebih pahit daripada airmata,
namun lebih manis di sisi Tuhan.
"Kalau abang mau...
jangan biarkan orang lain yang mengambil kesempatan itu.
Pinanglah Naya, Bang...
jadikan dia bagian dari hidupmu,
sebagaimana Allah membolehkan,
dan aku... aku akan belajar mengikhlaskan."
Arkha menatap istrinya dengan mata basah.
Di hadapannya, berdiri seorang wanita yang keikhlasannya mampu mengguncang langit.
"Aku... aku belum pantas, Hana," bisik Arkha.
"Bahkan mencintainya pun aku merasa berdosa, apalagi memilikinya."
Tapi Hana tersenyum lagi, lalu mengambil ponsel.
Dengan inisiatif yang membuat Arkha gemetar,
Hana mengirim pesan kepada Naya.
Pesannya pendek, sederhana, tapi berat maknanya:
"Assalamualaikum, Ukhti Naya...
Aku ingin bicara. Bukan sebagai pesaing, bukan sebagai penghalang,
tapi sebagai saudaramu yang mencintaimu karena Allah.
Maukah engkau mempertimbangkan untuk bersama-sama kami,
membangun rumah tangga dengan pondasi cinta yang diridai Allah?"
Pesan itu meluncur,
menggetarkan seluruh dinding hati Naya.
Saat membaca pesan itu,
Naya membeku.
Tangannya gemetar, dadanya sesak.
Kagum — itu yang pertama muncul.
Bagaimana bisa seorang wanita mencintai suaminya dengan sedalam itu,
namun tetap rela membagi hatinya demi kebahagiaan suami yang ia cintai?
Air mata Naya mengalir perlahan.
Dalam hatinya, terlintas kenangan tentang Fathan.
Andai dulu ia bisa seikhlas Hana,
mungkin kini ia hanya tinggal menunggu pintu surga terbuka dengan senyuman.
"Ya Allah..."
Naya berbisik dalam hati,
"Kalau aku menerima ini, apakah aku mampu setegar dirinya?
Apakah aku mampu menahan cemburu,
menahan luka,
demi cinta yang Engkau berkahi?"
Kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Antara rasa haru, rasa takut, dan rasa cinta yang kembali menghangatkan rongga hatinya.
Malam itu,
Naya menghabiskan waktu dalam sujud panjang,
meminta petunjuk,
meminta hati yang lapang,
meminta keteguhan yang mungkin selama ini tidak pernah benar-benar ia miliki.
Dan di antara linangan air mata,
ia sadar:
cinta sejati tidak hanya tentang menerima kehadiran,
tetapi juga tentang menerima ujian dengan hati yang lapang,
sebagaimana Hana telah mengajarkannya malam itu —
dalam satu pesan sederhana,
yang menggetarkan tak hanya bumi,
tapi juga langit tempat para malaikat bertasbih.
Komentar