Bab 13-14 Kampung Mayit
Bab 13: Langkah Terakhir untuk Menemukan Roy
Langit kampung Mayit mendung pekat, seakan mencerminkan keresahan yang semakin mendalam di hati semua orang yang terlibat dalam pencarian Roy. Setelah berhari-hari hilang tanpa jejak, harapan semakin tipis. Namun, mereka tidak menyerah. Upaya pencarian terus dilakukan, dan mereka tahu waktu semakin berharga.
Pak Faisal, sebagai tokoh agama yang dihormati, memutuskan untuk memanfaatkan kemampuan Jaza yang sudah beberapa kali kerasukan. Kali ini, Jaza tidak hanya sekadar menjadi korban, tetapi menjadi kunci untuk menghubungkan dunia nyata dengan dunia lain.
"Kita harus memanfaatkan segala yang ada," kata Pak Faisal dengan tegas, meski hati dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran. "Jaza bisa menjadi perantara untuk mencari Roy. Kita tidak punya pilihan lain."
Jaza yang dalam kondisi kesurupan mulai bicara dengan suara yang berat dan asing. "Roy... terjebak... jauh di tempat yang tidak bisa dijangkau manusia..." Suaranya terasa menggetarkan, dan setiap kata yang keluar membuat perasaan mereka semakin bingung sekaligus cemas.
Haidar, yang terus berusaha berpikir logis, menatap Jaza dengan serius. "Apa maksudmu? Di mana Roy?" tanyanya, berharap bisa memahami lebih jelas.
Pak Faisal mendekatkan dirinya ke Jaza, mencoba mengendalikan situasi. "Jaza, coba beri kami petunjuk lebih jelas. Kami membutuhkan bantuanmu."
Namun, yang keluar dari mulut Jaza tidak begitu jelas, hanya kata-kata yang terdengar seperti teka-teki: "Di ujung waktu... bukan hanya di ujung kampung ini..."
Sementara itu, Pak Kromo, tokoh adat yang bijaksana, duduk di luar rumah dengan penuh ketenangan, berdoa untuk keselamatan dan petunjuk yang benar. "Jangan meremehkan kekuatan adat. Kami punya cara sendiri untuk menyelesaikan ini," katanya, memberi semangat kepada warga yang membantu pencarian.
Meskipun beberapa orang tidak sepenuhnya setuju dengan cara-cara yang digunakan Pak Kromo, mereka tetap menghargai usahanya. Setiap orang percaya bahwa cara mereka sendiri adalah yang terbaik, bahkan jika mereka tidak sepenuhnya mengerti atau sepakat.
Namun, untuk memperkuat pencarian ini, tim kepolisian yang dipimpin oleh Kapolsek setempat turun tangan. Pihak kepolisian yang datang dengan peralatan modern dan tim SAR (Search and Rescue) yang terdiri dari anggota-anggota berpengalaman segera melakukan koordinasi dengan pihak kampus dan desa. Mereka menjelaskan bahwa ini bukan hanya urusan mitos atau cerita takhayul, melainkan masalah nyata yang membutuhkan usaha kolektif dan penanganan profesional.
Kapolsek yang tampak khawatir namun tetap tenang berkata, "Kami akan membantu semaksimal mungkin. Ini bukan hanya masalah tradisi, tetapi masalah keselamatan. Kami akan melakukan pencarian dengan prosedur yang sesuai, dengan melibatkan tim SAR untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik."
Namun, meski tim SAR dari luar kota datang dengan penuh kepercayaan diri, mereka tidak menyadari ada sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh teknologi mereka. Kepercayaan pada kemampuan tradisional yang dimiliki oleh Pak Kromo dan beberapa warga desa menjadi satu-satunya pengharapan.
Sementara itu, Haidar, Husna, Devi, dan Budi tetap berusaha menjaga komunikasi dengan pihak kampus. "Kami harus melaporkan segala yang terjadi agar tidak ada lagi korban yang jatuh. Ini adalah upaya bersama," kata Haidar, memastikan semua orang tahu bahwa tindakan mereka berada di bawah pengawasan yang tepat.
Pak Faisal, yang kini merasa ada beban berat di hatinya, terus berusaha memberi petunjuk pada Jaza yang masih terkontaminasi oleh kekuatan lain. "Jaza, coba bantu kami lebih banyak lagi. Kamu adalah satu-satunya yang bisa memberi kami jalan."
Dengan semakin jelasnya tanda-tanda bahwa Roy berada di suatu tempat yang sangat jauh, tim pencari dipimpin oleh Pak Kromo, dengan beberapa warga desa yang memilih untuk menggunakan cara tradisional mereka, berusaha menemukan jalan menuju tempat yang disebutkan Jaza.
Namun, terlepas dari usaha mereka, mereka semua tahu bahwa waktu semakin sedikit, dan setiap detik yang berlalu hanya menambah ketegangan. Mereka tidak hanya menghadapi misteri yang tidak bisa dijelaskan dengan akal, tetapi juga rasa takut akan bahaya yang semakin nyata.
Dengan bantuan pihak kepolisian dan tim SAR, serta koordinasi yang lebih rapat antara kampus dan desa, pencarian Roy akhirnya dimulai, namun mereka harus siap menghadapi kenyataan bahwa apa yang mereka cari mungkin jauh lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan.
Pak Kromo, yang tetap teguh pada kepercayaannya, berpesan kepada semua orang, "Ini bukan hanya tentang kita mencari Roy. Ini tentang menghormati kekuatan yang ada di dunia ini. Semoga kita diberi petunjuk yang benar."
Sementara itu, Haidar memandang Jaza yang kini berada dalam keadaan tak sadar, berpikir keras. "Apakah ini benar jalan yang harus kita ambil? Apa yang akan kita temui di ujung perjalanan ini?"
Semua pertanyaan itu menggantung di udara, tidak ada jawaban pasti. Tetapi satu hal yang pasti: pencarian ini bukanlah sekadar sebuah mitos. Ini adalah perjuangan hidup dan mati yang melibatkan banyak orang, dengan harapan menemukan Roy yang hilang dan membawa semua kembali dengan selamat.
Bab 14: Penyembuhan Jaza dan Gangguan yang Semakin Mencekam
Pencarian Roy semakin hari semakin menegangkan. Sementara itu, keadaan Jaza semakin tidak terkendali. Rasa takut, kebingungan, dan kekuatan yang merasukinya makin besar, sehingga ia hampir tidak bisa dibedakan lagi dari dirinya yang asli. Setiap kali Jaza terbangun dalam keadaan kerasukan, ia mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh siapapun, dan bahkan mencoba melakukan tindakan berbahaya pada dirinya sendiri. Keadaan ini membuat Haidar dan Husna terpaksa mencari cara lain untuk menyembuhkan Jaza.
Malam itu, mereka kembali memutuskan untuk melakukan pengobatan dengan metode rukyah yang diajarkan oleh Pak Faisal. Di sebuah ruangan kecil di rumah yang mereka tinggali, Pak Faisal, bersama beberapa orang dari desa, mulai membaca doa-doa khusus untuk mengusir kekuatan jahat yang merasuki tubuh Jaza. Suasana di sekitar mereka terasa begitu mencekam, seakan-akan ada sesuatu yang mengawasi, mengintai dari setiap sudut ruangan.
"Ya Allah, dengan izin-Mu, keluarkanlah dari tubuh ini segala gangguan yang menguasainya, berikanlah kesembuhan pada hamba-Mu ini," doa Pak Faisal menggema dengan lembut, namun penuh kekuatan.
Haidar dan Husna berdiri di sisi ruangan, mencoba menahan rasa takut yang terus merayap. Meski mereka tahu bahwa ini adalah usaha terakhir untuk menyelamatkan Jaza, ketegangan di dalam hati mereka semakin besar. Mereka sudah merasakan banyak hal aneh sejak tiba di kampung Mayit, dan mereka merasa semakin terjebak dalam permainan yang tidak mereka pahami.
Tiba-tiba, Jaza berteriak, suaranya menjadi lebih dalam dan serak, tidak seperti biasanya. Tangan dan kakinya bergerak tak terkendali. "Jangan... jangan biarkan aku pergi..." Jaza berkata dengan suara yang terdengar bukan berasal dari tubuhnya yang biasa. Teriakan itu terdengar begitu menakutkan, seperti suara lain yang sedang berbicara melalui tubuh Jaza.
Husna menunduk, berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan doa. "Bismillah... Bismillah..." gumamnya berulang kali. Ia tahu bahwa keyakinannya harus lebih kuat dari segala rasa takut yang menggerogoti dirinya. Ia tidak boleh membiarkan ketakutan menguasainya, meskipun setiap inci tubuhnya merasa mencekam.
Namun, suara itu terus berlanjut, dan kali ini, suara Jaza berubah menjadi lebih kasar dan penuh ancaman. "Mereka yang datang ke sini akan terperangkap selamanya... Kampung ini sudah lama menunggu korban baru..." Suara itu bergema, seperti datang dari kedalaman yang sangat jauh.
Di luar, malam semakin larut. Angin malam yang dingin berhembus, membawa suara-suara aneh dari hutan sekitar kampung. Haidar menatap ke luar jendela dengan waspada. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengintai di luar sana, sesuatu yang tidak bisa mereka lihat, namun dapat mereka rasakan.
Tiba-tiba, Husna merasakan sesuatu yang berbeda. Matanya mulai berkunang-kunang, dan pikirannya terasa berputar. Ia mendengar bisikan di telinganya, seolah ada suara yang memanggil-manggil. "Husna... jangan teruskan ini... Kamu akan menyesal..." bisikan itu terdengar begitu jelas, membuatnya terhenti sejenak.
Husna menggelengkan kepalanya, berusaha menepis suara itu. "Tidak... aku tidak akan mundur," katanya dalam hati. Ia berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia harus kuat, bahwa apapun yang terjadi, mereka harus bertahan. Namun, rasa takut itu semakin menggerogoti dirinya.
Di sisi lain, Haidar juga merasa adanya gangguan yang semakin nyata. Setiap kali ia mencoba untuk berkonsentrasi, pikirannya diserang oleh bayang-bayang yang tidak bisa ia jelaskan. Seperti ada sesuatu yang mengganggu jiwanya, membuatnya merasa takut tanpa alasan yang jelas. Namun, ia berusaha untuk tetap fokus, untuk tidak membiarkan ketakutan itu menguasai dirinya.
"Husna, fokus. Kita harus terus berjuang," bisik Haidar, berusaha menenangkan temannya.
Namun, gangguan itu semakin menjadi-jadi. Di luar, suara-suara aneh semakin terdengar, dan ada bisikan-bisikan yang seolah datang dari dalam tubuh mereka sendiri. Mereka berdua tahu, ini bukan sekadar perasaan biasa. Ada sesuatu yang tidak beres di kampung ini, sesuatu yang lebih dari sekadar mitos.
Jaza yang masih kerasukan berteriak lagi, kali ini suaranya semakin menakutkan. "Tidak ada jalan keluar dari sini... semua akan jatuh dalam kegelapan... bahkan kalian!" Dengan suara yang serak dan pecah, Jaza berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh siapapun.
Pak Faisal yang masih membaca doa terus berusaha mengusir kekuatan jahat itu, meskipun tampaknya tidak ada yang berubah. Beberapa saat kemudian, tubuh Jaza mulai tenang. Nafasnya yang berat mulai teratur, dan matanya yang kosong perlahan-lahan kembali normal.
"Jaza?" Husna bertanya dengan cemas, mendekati tubuh Jaza yang terbaring lemah. Jaza mengangguk perlahan, tetapi wajahnya tampak pucat dan kosong. "Aku... tidak tahu apa yang terjadi..." Jaza berkata dengan suara yang lemah, tetapi ada rasa takut yang tersirat dalam suaranya.
Haidar dan Husna saling bertukar pandang. Mereka tahu, ini bukan akhir dari masalah mereka. Sesuatu yang lebih besar sedang mengintai mereka. Kepercayaan mereka mulai diuji, dan mereka hanya bisa berharap bahwa dengan tekad dan keyakinan yang tersisa, mereka bisa menghadapinya bersama.
Namun, meskipun keadaan Jaza sudah sedikit membaik, ketegangan dalam diri mereka tetap ada. Kepercayaan dan keyakinan yang mereka miliki menjadi satu-satunya senjata yang bisa mereka gunakan untuk bertahan di tengah kegelapan yang semakin mendalam.
Komentar