Bab 1 -3 KAMPUNG MAYIT


 Bab 1: Gerbang Kampung Mayit


Langit mulai menggelap saat mobil tua yang mereka tumpangi berguncang pelan memasuki jalanan berbatu. Pohon-pohon besar berjajar di kanan-kiri, seakan membentuk lorong sunyi yang mengantar mereka ke suatu tempat asing.

"Gerbang itu..." gumam Husna, matanya membelalak saat melihat sebuah gapura reyot berdiri di depan mereka. Di atas gerbang, tulisan pudar itu terbaca samar di bawah lampu remang: Kampung Mayit.

Suasana mendadak hening. Angin malam mengirim bisikan aneh, mengibaskan rambut Devi yang langsung merapat ke Haidar. Wajahnya pucat pasi.

"Apa-apaan sih ini? Nama kampung kok kayak judul film horor," bisik Devi dengan suara bergetar.

Roy malah tertawa keras, menepuk-nepuk pundak Budi yang sudah setengah bersembunyi di balik tasnya. "Ah, kalian ini cemen amat. Ini pasti trik buat nakut-nakutin pendatang."

"Roy, jaga sikapmu," tegur Haidar, nada suaranya tenang tapi tegas. Sebagai ketua kelompok, ia merasa bertanggung jawab menjaga suasana.

Budi, yang dikenal penakut dan rapi, sibuk mengecek barang-barangnya satu per satu, memastikan tidak ada yang tercecer. Sesekali dia mengelap keringat di dahinya, meski udara dingin menusuk.

"A-aku rasa... kita harus cepat masuk," celetuk Budi, matanya melirik gelisah ke arah bayangan pepohonan yang seolah bergerak.

Sementara itu, Jaza diam. Dia menatap gerbang itu lama, matanya menyipit seolah mencoba memahami sesuatu yang tak kasat mata. Di balik sikap santainya, Jaza sebenarnya menahan getaran aneh dalam dadanya. Ada sesuatu yang membisik di telinganya, namun ia memilih bungkam.

Dengan langkah berat, mereka melewati gerbang itu. Begitu melewatinya, udara berubah. Bau tanah basah bercampur sesuatu yang amis, samar, menusuk hidung mereka.

Tiba-tiba, Husna berhenti. "Lihat..." bisiknya serak, menunjuk ke sebuah papan kayu kecil di pinggir jalan. Di situ, tergantung sebuah boneka jerami kecil dengan kain lusuh berwarna merah, digantung terbalik.

Devi menjerit kecil. "Aku mau pulang! Ini pertanda buruk!"

Roy mendengus. "Alah, boneka doang. Kampung ini mau ngasih kesan horor, biar keren."

Namun Jaza bergumam pelan, nyaris tak terdengar, "Itu... bukan sekadar pajangan."

Haidar menarik napas panjang. "Ayo jalan. Jangan pisah-pisah."

Mereka berjalan lebih cepat, melewati rumah-rumah kayu tua dengan jendela tertutup rapat, seolah penduduknya menghindari mereka. Tidak ada suara manusia. Tidak ada suara ayam. Hanya desir angin, dan sesekali, bunyi seperti langkah kaki yang mengikuti mereka dari kejauhan.

"Perasaan aku nggak enak," kata Devi hampir menangis.

Budi menambahkan, "Aku rasa... kita tidak disambut dengan baik."

Saat melewati salah satu rumah besar, Haidar sempat melihat bayangan seseorang mengintip dari celah jendela. Tapi saat ia menoleh, bayangan itu sudah lenyap. Ia memendam penglihatan itu sendiri, tak ingin membuat suasana makin buruk.

Akhirnya, mereka sampai di rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama KKN. Rumah itu besar, tua, dan berbau lembab. Ketika pintu dibuka, deritannya terdengar panjang, seperti suara keluhan makhluk yang sudah lama terkurung.

Baru saja melangkah masuk, Jaza tersentak. Ia membungkuk tiba-tiba, memegang kepalanya, napasnya memburu.

"Kenapa, Za?" tanya Husna panik.

Jaza menggeleng keras, berusaha menahan sesuatu di dalam dirinya. Tapi bibirnya mulai bergetar, menggumamkan kata-kata dalam bahasa Jawa yang kental, sesuatu yang tidak dimengerti siapapun.

"Bojoku... bojoku... bali... bali..."
(Suamiku... suamiku... kembali... kembali...)

Suasana membeku.

Devi berteriak. Budi menjatuhkan tasnya. Roy, untuk pertama kalinya, kehilangan kesombongannya.

Haidar segera memegang bahu Jaza, mengguncangnya ringan. "Jaza! Sadarkan dirimu!"

Sejenak, Jaza terdiam. Matanya kosong, lalu perlahan-lahan tubuhnya melemas, seakan habis dihisap energi tak kasat mata.

Semua saling pandang dalam ketakutan. Mereka baru sadar... mungkin, nama Kampung Mayit bukan sekadar nama.

Malam itu, tidur mereka bukan hanya diganggu oleh suara-suara dari luar rumah, melainkan juga ketakutan yang perlahan mulai merayap masuk ke dalam hati masing-masing.




Bab 2: Nasehat yang Diabaikan

Pagi itu, kabut tipis masih melayang di atas tanah ketika Hamim, kepala desa, datang menemui mereka di rumah tua itu. Ia datang bersama seorang pria tua bersarung dengan tongkat kayu di tangannya. Kulitnya keriput, matanya tajam tapi teduh. Dialah Kromo, tetua adat Kampung Mayit.

Haidar segera membungkuk hormat. Husna pun mengikuti dengan sopan, wajahnya penuh rasa hormat. Yang lain, meski ragu-ragu, berusaha menunjukkan sikap sopan sekadarnya.

Kromo berdiri di tengah ruangan, suaranya berat namun perlahan.
"Kalian sudah berada di tanah kami, tanah yang dijaga dengan adat dan aturan lama. Kami mohon, selama di sini, hormatilah pantangan-pantangan yang ada."

Semua diam mendengarkan.

Kromo melanjutkan, "Ada tempat yang tidak boleh dilalui sembarangan. Ada waktu di mana suara manusia harus diam. Jangan bertanya pada malam tertentu. Dan..." —ia menatap tajam ke arah mereka— "jangan pernah mengolok-olok apa yang tak kalian lihat."

Devi mengangguk cepat-cepat, wajahnya tegang. Budi terlihat ingin mencatat setiap larangan itu.
Tapi Roy hanya menyeringai, menyilangkan tangan di dadanya.

"Pak, zaman sekarang masih percaya hal kayak gitu? Ini abad dua puluh satu, Pak. Mitos, semua itu," katanya santai, dengan nada mengejek.

Kromo tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Roy lama, seperti membaca sesuatu di balik sorot matanya.
"Lidah yang tak mau dijaga," katanya pelan, "akan menuntun pemiliknya ke jalan yang gelap."

Haidar cepat-cepat menepuk bahu Roy, menahan ucapan lanjutannya. "Kami mengerti, Pak. Kami akan berusaha menjaga sikap."

Setelah Kromo dan Hamim pergi, suasana dalam rumah itu menjadi berat.
Haidar berkumpul bersama Husna, berbicara pelan namun tegas.

"Roy, dengarkan. Kita di sini bukan hanya membawa nama pribadi. Kita membawa nama kampus, nama keluarga," kata Haidar, mencoba menahan emosinya.

"Dia benar, Roy," tambah Husna lembut. "Kita sebagai tamu harus tahu diri. Apalagi ini menyangkut keyakinan orang lain."

Roy mengangkat bahu. "Halah, terlalu dibesar-besarkan. Kalian terlalu gampang takut."

Saat itu, Devi duduk termenung di sudut, menggenggam tasbih kecil di tangannya, berbisik pelan entah membaca doa apa.
Budi hanya mengangguk-angguk, sibuk merapikan baju-bajunya, tak berani ikut bicara.

Hari itu, mereka mulai bertugas membantu di desa.
Saat sore menjelang, terjadi hal kecil tapi mengusik:
Roy, yang tak mau ikut aturan, masuk ke area pemakaman tua di pinggir desa, meski sudah diperingatkan oleh Hamim sebelumnya.

"Ini cuma kuburan biasa," gumam Roy sambil menendang kerikil ke arah nisan tua yang mulai miring.
Seperti mengejek, ia bahkan sempat bersiul, mengabaikan tatapan takut dari Devi dan pandangan penuh kecemasan dari Haidar.

Malam itu, saat mereka berkumpul untuk makan, Roy mulai bersikap aneh.

Ia sering menoleh ke belakang, seolah mendengar sesuatu.
Tangannya gemetar memegang sendok. Kadang ia menggerutu sendiri, matanya kosong memandang sudut-sudut gelap ruangan.

"Ada yang ngintip tadi," katanya tiba-tiba.

Semua terdiam.

"Siapa, Roy?" tanya Haidar perlahan.

Roy menggeleng. "Nggak tahu... wajahnya... jelek... hancur..."

Devi menjerit kecil.
Husna segera meraih tangan Devi, berusaha menenangkannya dengan membaca ayat-ayat pendek.

Haidar, dengan hati-hati, mengingatkan, "Mungkin karena kamu tadi melanggar larangan. Segeralah minta maaf dalam doa."

Roy hanya tertawa hambar, tapi tawanya terdengar dipaksakan.
Di matanya, ada bayang-bayang ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan lagi.

Malam makin pekat.
Di luar, angin bertiup kencang, membawa bisikan samar yang terdengar seperti... seseorang memanggil nama mereka satu per satu.



Bab 3: Bayang-Bayang di Balik Pekerjaan

Keesokan paginya, langit Kampung Mayit tampak cerah, seolah membantah ketegangan yang semalam menyelimuti mereka.
Mereka berkumpul di beranda, membagi tugas: Haidar memimpin program bersih desa, Husna membantu mengajar anak-anak mengaji, Devi ikut di dapur umum, Budi mendokumentasikan kegiatan, Jaza bergabung di pertanian, dan Roy... entah dengan setengah hati, menyusul belakangan.

"Semangat, ya," kata Haidar, mencoba mengembalikan semangat kelompok.

Husna tersenyum kecil, meski dalam hatinya masih ada ganjalan. Semalam, suara-suara aneh itu terus menghantui telinganya, membuat ia sulit memejamkan mata.

Kegiatan berjalan normal pada awalnya.
Haidar dan beberapa warga membersihkan jalan desa dari semak liar. Di sela kerja, warga bercerita tentang kebiasaan desa: tradisi larung sesajen, malam sunyi, dan pohon-pohon keramat yang tidak boleh disentuh.

"Semua itu menjaga keseimbangan, Nak," ujar Pak Faisal, tokoh agama kampung itu, kepada Haidar dengan bijak.

Haidar mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha memahami meski sebagian cerita terdengar di luar nalar.

Sementara itu, di balai desa, Husna mengajarkan anak-anak kecil membaca doa pendek. Anak-anak itu polos, namun beberapa kali mereka melirik ke jendela, seolah ada sesuatu di luar yang menarik perhatian.

"Kenapa, Nak?" tanya Husna lembut.

Seorang anak berbisik ketakutan, "Ada mbakyu nangis, Mbak..."
(Ada kakak perempuan yang menangis, Mbak...)

Husna menelan ludah. Ia menguatkan hati, lalu mengajak anak-anak membaca doa keras-keras, seolah melawan bayangan gelap yang tak kasat mata.

Di dapur umum, Devi, meski berusaha mengalihkan pikiran, sering terkejut mendengar bunyi-bunyi panci jatuh sendiri atau bayangan yang berkelebat di sudut matanya.

"Aku lelah... atau ini perasaan saja?" gumam Devi, mencoba menghibur dirinya.

Di tempat lain, Roy duduk di bawah pohon besar dekat pemakaman, bermain-main dengan batu kecil, tampak bosan.

Tanpa sadar, ia melemparkan batu ke dalam area pemakaman.
Sekelebat, ia melihat bayangan putih melintas di antara nisan-nisan tua.

Roy mengucek matanya, tapi bayangan itu sudah hilang. Ia tertawa miris. "Ah, sudah mulai halu, gue."

Namun, saat ia berbalik untuk pergi, ia mendengar suara serak berat berbisik tepat di telinganya:

"Aja dolanan..."
(Jangan main-main...)

Roy membeku. Dadanya sesak. Keringat dingin membasahi punggungnya meski matahari bersinar terik.

Malam itu, ketika mereka berkumpul untuk evaluasi harian, suasana terasa berat.

"Roy, dari siang kamu kemana aja?" tanya Haidar.

Roy hanya mengangkat bahu, wajahnya lebih pucat dari biasanya.

"Mas... aku rasa... Roy harus dirukiah," kata Devi tiba-tiba, matanya membelalak. "Ada sesuatu... yang nempel di dia."

Semua terdiam.
Di luar, angin berhembus kuat, menggoyang dedaunan dan membuat suara berbisik yang mengelilingi rumah.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak kedatangan mereka, Roy mengunci diri di kamarnya sendiri. Dari celah pintu, kadang terdengar suara bisikan panjang dalam bahasa Jawa yang tidak dimengerti.

Budi menempel di dinding kamarnya, tidak berani pergi ke kamar mandi sendirian.

"Aku... aku rasa... tempat ini memang ada yang nggak beres," gumam Budi sambil berdoa dalam hati.

Haidar menghela napas berat, sadar tantangan mereka di kampung ini bukan hanya tentang menjalankan program kerja... tapi juga tentang bertahan dari sesuatu yang tak kasat mata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAKDIR DI UJUNG DOA BAB 5

Takdir di Ujung Doa BAB1