BAB 4 -5 KAMPUNG MAYIT


 Bab 4: Pesan yang Terabaikan

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1647140347148578"
     crossorigin="anonymous"></script>

Hari-hari berikutnya berjalan dalam ketegangan yang semakin menebal, meski aktivitas KKN tetap harus dilaksanakan.
Pagi itu, Devi membantu membuat kerajinan tangan bersama ibu-ibu desa, tapi tangannya gemetar saat menggulung anyaman daun pandan.

"Ada yang mengawasi... ada yang mengawasi..." bisiknya lirih tanpa sadar.

Haidar, yang memperhatikan dari jauh, merasa Devi makin hari makin berbeda. Matanya sayu, kadang kosong, kadang seperti berbicara sendiri.

Jaza pun mulai memperlihatkan keanehan.
Saat Budi sibuk mengambil dokumentasi foto-foto kegiatan, ia merekam Jaza sedang berbicara sendiri di sudut balai desa.

"Metu... metu... dudu sak kene..."
(Pergi... pergi... ini bukan tempatmu...)

Budi yang ketakutan segera memanggil Haidar.
Namun saat dihampiri, Jaza kembali seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Bahkan ia sendiri tidak ingat telah berbicara.

Sementara itu, Roy... terlihat lebih murung. Ada malam-malam di mana ia berteriak dalam tidur, menyebut-nyebut satu kata aneh:

"Balik..."

Roy sendiri saat ditanya Haidar hanya menganggap itu mimpi buruk. "Paling cuma ngigau. Gue capek aja."

Namun Haidar merasa ini bukan kebetulan biasa.
Ia dan Husna memutuskan menemui Kromo kembali, dengan alasan ingin tahu lebih dalam tentang sejarah kampung itu.

Di bawah pohon beringin tua, Kromo duduk dengan wajah lelah, seperti menyimpan beban berat.

"Kampung ini," ujar Kromo pelan, "dulu bukanlah tanah biasa. Ini tanah buangan... untuk roh-roh yang tidak diterima di mana-mana. Orang-orang dulu mendirikan desa ini untuk mengurung mereka dengan doa dan adat."

Haidar merasakan bulu kuduknya meremang.

"Ada batasan yang tak boleh dilanggar," lanjut Kromo. "Begitu satu saja dilanggar, pagar gaib itu melemah."

Kromo memandang Haidar dan Husna dalam-dalam.
"Salah satu dari kalian sudah membukanya..."

Tak puas hanya dengan keterangan itu, Haidar juga mencari Pak Faisal di masjid kecil desa.
Di sela membantu anak-anak belajar mengaji, Faisal bercerita:

"Jin dan makhluk ghaib itu ada, Nak. Tapi mereka hidup di alam yang berbeda. Adat kami adalah bagian dari pagar. Begitu sombong terhadap adat, berarti sombong pada ketentuan alam yang sudah Allah tetapkan."

Husna mendengarkan dengan mata berkaca-kaca.

"Kalau sudah ada yang dibuka," lanjut Faisal, "susah untuk menutupnya lagi tanpa korban."

Kalimat itu menusuk. Membuat Devi semakin tenggelam dalam ketakutannya.
Ia mulai sering berbicara pada bayangannya sendiri. Kadang ia menjerit ketakutan ketika melihat cermin, seolah ada sosok lain di sana.

Budi semakin sering membangunkan Devi dari tidur malam yang penuh teriakan.
Sementara Jaza kadang mendadak membaca doa tanpa sadar, mulutnya menggumamkan bahasa yang bahkan ia sendiri tidak mengerti.

Semua itu menjadi tanda:
Kampung Mayit telah membuka pintunya.
Dan mereka... sudah terlalu jauh untuk kembali tanpa harga yang harus dibayar.

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1647140347148578"
     crossorigin="anonymous"></script>



Bab 5: Peringatan Tanpa Sadar

Malam itu, rumah kontrakan tempat mereka tinggal selama KKN terasa lebih sunyi dari biasanya.
Angin berdesir lewat celah-celah dinding kayu, membuat tirai kusam menari perlahan, seolah ada tangan tak kasat mata yang menyentuhnya.

Di ruang tengah, Devi duduk memeluk lutut. Tatapannya kosong, matanya bergerak mengikuti sesuatu yang tak dilihat orang lain.

"Jangan... jangan dekati aku..." bisiknya lirih, membuat Budi yang sedang merekam kegiatan mereka langsung membatalkan niatnya.

Haidar, yang baru kembali dari rapat desa, memandang Devi dengan keprihatinan mendalam. Ia tahu, Devi sudah tidak dalam keadaan baik.

"Kita butuh doa, banyak doa," kata Husna lirih, mencoba memegang tangan Devi.

Namun Devi malah menepis kasar, matanya mendelik ketakutan. "Dia... dia berdiri di belakang kalian!" teriaknya.

Semua sontak menoleh. Tak ada apa-apa di belakang mereka... kecuali dinding kosong.

Roy mendengus kasar dari sudut ruangan. Ia tengah menyulut rokok, berlagak tenang.

"Sudahlah, Devi! Ini semua cuma karena kalian terlalu percaya takhayul. Ini KKN, bukan syuting film hantu!" katanya sambil tertawa kecil.

Budi bergidik, bahkan tawa Roy pun malam itu terdengar asing.

Saat itulah, tiba-tiba Jaza yang duduk diam sejak tadi, mendongak dengan mata setengah kosong.
Tanpa peringatan, dari mulutnya meluncur suara berat dan serak:

"Mbalikke sadurunge kowe ilang..."
(Pulanglah sebelum kau hilang...)

Semua terdiam.
Devi membekap mulutnya, ketakutan. Budi hampir menjatuhkan kamera di tangannya.

Roy menatap Jaza tajam. "Apa lo barusan bilang?"

Jaza mengerjap bingung, seolah baru sadar dari mimpi.

"Aku... aku nggak ngomong apa-apa," katanya bingung.

Haidar, yang sigap membaca ketegangan, mendekat dan bertanya lembut, "Jaza, barusan kamu bilang apa ke Roy?"
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1647140347148578"
     crossorigin="anonymous"></script>
Namun Jaza hanya menggeleng. "Sumpah, aku nggak ingat. Apa aku ngomong sesuatu?"

Suasana makin menegang.

Dari sudut matanya, Devi melihat lagi sosok hitam melintas cepat di balik jendela. Ia menjerit histeris.

"Mereka sudah di dalam! Mereka sudah di dalam!" teriak Devi.

Budi hampir menangis saking takutnya. Husna menggenggam tasbih erat-erat di tangannya, melantunkan ayat-ayat pendek dengan suara gemetar.


Roy, dengan wajah menegang, mencoba mempertahankan sikap sok berani. Tapi kakinya sendiri mulai melangkah mundur, seolah tubuhnya tak sepenuhnya setuju dengan keangkuhannya.

Malam itu, tak ada yang benar-benar tidur.
Setiap suara kecil — derit lantai, gemerisik daun — terdengar seperti bisikan maut yang mengepung rumah mereka.

Di antara lampu temaram dan suara malam yang aneh, satu hal menjadi jelas bagi mereka semua:
Kampung Mayit tak hanya nama... Ia hidup, bernafas, dan kini, memperhatikan mereka satu per satu.





Bab 6 karya nizam mahbub

Kisah fiksi berdasarkan pengembangan pikiran penulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAKDIR DI UJUNG DOA BAB 5

Bab 1 -3 KAMPUNG MAYIT

Takdir di Ujung Doa BAB1