Bab 6 KAMPUNG MAYAT
Bab 6: Yang Tertinggal
Pagi itu, suasana rumah sudah berat sejak matahari terbit.
Devi duduk bersila di pojokan, menggumamkan kata-kata tak jelas. Matanya kosong, sesekali tersenyum sendiri.
Jaza, yang biasanya pendiam, malah mondar-mandir sambil bergumam dengan bahasa yang tidak dimengerti Budi.
Melihat keadaan yang kian memburuk, Haidar mengambil keputusan.
"Kita harus cari bantuan," ujarnya mantap.
Tanpa banyak bicara, Husna segera mengambil jilbabnya. Mereka sepakat meninggalkan Budi untuk menjaga Devi dan Jaza sementara mereka menemui Pak Kromo dan Pak Faisal.
"Jangan buka pintu untuk siapa pun selain kami," pesan Haidar pada Budi sebelum pergi.
Budi hanya mengangguk ragu, hatinya tak enak.
Di rumah Pak Kromo, suasana terasa berat.
Pak Kromo, dengan sorot mata tua yang penuh rahasia, mendengarkan penuturan Haidar dan Husna dengan seksama.
"Apa yang datang pada mereka, bukan sekadar bayangan..." ucapnya lirih.
"Itu adalah penagihan. Seseorang sudah melanggar batas."
Haidar merasa punggungnya dingin mendengar itu.
Pak Kromo kemudian menyarankan mereka menemui Pak Faisal untuk meminta panduan doa dan amalan, agar setidaknya mereka punya pertahanan dasar.
Di masjid kecil yang sepi, Pak Faisal memberikan beberapa ayat dan doa untuk dibacakan.
"Tapi ingat," katanya serius, "semua ini hanya benteng. Jika hatimu rapuh, tak ada doa yang cukup kuat menahan mereka."
Haidar dan Husna berjanji akan berpegang teguh. Mereka bergegas kembali ke rumah tinggal, membawa harapan kecil untuk menyelamatkan teman-teman mereka.
Namun, saat pintu rumah terbuka, kengerian menyambut mereka.
Budi berlari ke arah mereka dengan wajah pucat pasi.
"Roy... Roy hilang!" teriaknya panik.
Nafas Budi tersengal saat menceritakan apa yang terjadi.
Katanya, tak lama setelah Haidar dan Husna pergi, Roy tampak gelisah. Ia keluar rumah untuk merokok di teras, sambil menggerutu tentang ‘mitos kampung bodoh’ ini.
Lalu... dia tidak pernah kembali masuk.
Tak ada suara. Tak ada jejak. Hanya sebatang rokok yang jatuh di lantai beranda, masih mengepul.
"Aku... aku takut..." isak Budi, matanya merah.
Haidar segera memeriksa sekeliling rumah, namun tak menemukan apa pun. Tak ada bekas Roy, tak ada jejak kaki, seolah ia ditelan bumi.
Yang lebih membuat bulu kuduk berdiri, adalah keadaan Devi dan Jaza.
Devi kini duduk memeluk boneka kecil yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
Boneka itu lusuh, matanya hanya satu, dan di lehernya terikat benang merah kusam.
Sementara Jaza berdiri menghadap dinding, bergumam tanpa henti, seakan berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat.
"Jaza... Devi... kalian kenapa?" tanya Husna, berusaha mendekat.
Tapi Devi hanya terkikik kecil, lalu berbisik:
"Mereka suka main petak umpet... tapi Roy tak pandai bersembunyi..."
Haidar merasa jantungnya berhenti berdetak sesaat.
Di tengah keheningan mencekam itu, dari arah dapur, terdengar suara ketukan pelan — ritmis, berulang, seperti seseorang yang mengetuk dengan jari yang panjang dan patah.
Tok... tok... tok...
Budi merapat ke Haidar, menggenggam lengannya erat-erat. Husna mengatupkan mulutnya, menahan teriakan.
Malam mulai jatuh dengan cepat, dan dengan itu, kegelapan kampung Mayit kembali menelan mereka.
Roy hilang.
Dan kini, mereka bertiga... hanya menunggu giliran.
Bab 6 karya nizam mahbub
Kisah fiksi berdasarkan pengembangan pikiran penulis
Komentar