Bab 8 Kampung Mayit
Bab 8: Sendiri Dalam Ketakutan
Angin malam menyusup masuk dari sela-sela papan rumah tua itu, membawa serta aroma tanah basah yang anehnya berbau besi.
Husna duduk bersila, membelakangi Devi yang masih bergumam entah apa, sesekali tertawa kecil lalu mendadak menangis.
Dalam gemetar, bibir Husna tak berhenti menggumamkan doa, ayat-ayat suci yang dia hafal sejak kecil.
Di sudut lain, Budi meringkuk, tubuhnya menggetar hebat.
Matanya liar memandang ke sekeliling ruangan, seakan setiap bayangan di dinding bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih menyeramkan dari sekadar ilusi.
Lampu minyak bergoyang, menciptakan tarian bayang-bayang yang seolah mengejek ketakutan mereka.
"Husna... aku... aku gak kuat," bisik Budi, suaranya hampir tak terdengar.
Husna menoleh sebentar, mencoba menenangkan dengan tatapan, tapi dia sendiri tahu matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan.
"Sabar, Budi... kita tunggu Haidar pulang..."
Namun keteguhan itu tak mampu menahan ketakutan dalam dada Budi.
Suara langkah kaki berat di loteng makin sering terdengar, lalu ada ketukan-ketukan ringan di jendela — padahal jelas tak ada siapa-siapa di luar.
Budi menguatkan tekad.
Dia bangkit perlahan, tubuhnya bergetar, kakinya hampir tak sanggup menahan beban sendiri.
Tanpa suara, ia berjalan menuju pintu belakang, berusaha secepat mungkin keluar tanpa membuat suara.
Husna, yang fokus pada Devi, tak menyadari saat bayangan Budi menghilang dari ruangan.
Beberapa menit berlalu.
Saat Husna menoleh, mencari Budi, hanya ada kekosongan di sudut tempat Budi semula duduk.
Jantungnya berdetak cepat.
"Budi...? Budi... kamu di mana...?"
Tak ada jawaban.
Hanya suara angin yang kini terdengar seperti bisikan halus, seolah ada yang membisikkan sesuatu tepat di telinganya.
Husna berdiri ragu, matanya melirik Devi yang masih dalam dunianya sendiri — bergumam, tertawa, menangis — bergantian tanpa jeda.
Kebingungan menggulung pikirannya:
Mencari Budi yang mungkin hilang di kegelapan atau tetap menjaga Devi yang bisa kapan saja bertindak di luar dugaan.
Keringat dingin mengalir di punggung Husna.
Perlahan ia melangkah ke ambang pintu, memanggil Budi dengan suara serak.
"Budi... ini gak lucu... balik sini..."
Tak ada sahutan.
Hanya suara langkah kecil mendekat... tapi anehnya dari arah dalam rumah, bukan dari luar.
Husna membalikkan badan.
Devi sudah berdiri — tanpa suara, tanpa ekspresi.
Mata Devi memandang lurus ke arah Husna, tapi... ada sesuatu yang lain di balik tatapannya.
Bukan lagi Devi yang dia kenal.
Dalam kegelapan, Husna hampir melihat siluet lain berdiri di belakang Devi — samar, tinggi, kurus, kepalanya nyaris menyentuh langit-langit.
Seketika itu juga, Husna menegakkan diri.
Tangannya yang gemetar meraih mushaf kecil dari saku bajunya.
Dengan suara tercekat, ia mulai membaca ayat-ayat perlindungan, satu per satu.
Samar-samar, udara di sekitarnya terasa bergetar.
Bayangan di belakang Devi mengerut, seolah enggan mendekat.
Namun rasa takut tetap mencengkeram jiwa Husna — ketakutan yang begitu nyata, karena dia tahu, apapun itu, masih ada di sana, mengawasi mereka, menunggu celah di antara doanya yang mungkin kelak melemah.
Dalam jerat ketakutan, Husna hanya bisa berdoa sekuat hatinya.
Karena malam ini, di rumah tua itu, mereka tidak benar-benar sendirian.
Komentar