Bab 9 Kampung Mayit
Bab 9: Tersesat Dalam Gelap
Budi berjalan tergesa-gesa di jalan setapak, menembus pekat malam yang terasa jauh lebih dingin dari biasanya.
Di atas kepalanya, bulan setengah tertutup awan kelabu, dan setiap langkahnya seolah menggema dalam kesunyian yang mencekam.
Niatnya sederhana: menyusul Haidar ke rumah Pak Faisal.
Namun, seiring waktu, jalan yang ia lewati terasa semakin asing, meski Budi yakin dia terus mengambil jalur yang sama.
Keringat dingin membasahi pelipisnya.
Hatinya berdegup cepat ketika dari sudut matanya, ia merasa bayangan-bayangan hitam mengikuti langkahnya — bergerak seirama, bersembunyi di balik pepohonan.
"Ini cuma halusinasi... ini cuma halusinasi..."
Budi menggumamkan mantra itu berkali-kali, namun ketakutannya semakin menjadi.
Suara bisikan samar mulai terdengar, memanggil namanya perlahan.
Langkah kakinya bertambah cepat, hampir berlari.
Namun... anehnya, ia selalu kembali ke tempat yang sama — sebuah pertigaan kecil dengan batu besar berlumut di tengahnya.
"Kenapa balik ke sini lagi...?"
Budi mulai panik. Nafasnya terengah.
Seperti terjebak dalam lingkaran setan, Budi terus berjalan, berputar-putar tanpa arah.
Sampai akhirnya, di bawah langit yang memudar menuju fajar, tubuhnya ambruk.
Kesadaran Budi menghilang begitu saja, direnggut kelelahan, ketakutan, dan entah apa lagi yang bersemayam di malam itu.
Di tempat lain, Husna berlari kecil mengejar Devi yang tiba-tiba memberontak.
"Devi! Devi, berhenti! Mau ke mana kamu?!"
Namun Devi tak menjawab.
Langkah kakinya cepat, tatapannya kosong, seolah ada yang memanggil dari jauh.
Husna berusaha menggapai tangan Devi, memaksa menariknya, tapi Devi berontak dengan kekuatan yang tak biasa.
"Aku mau pulang... pulang... pulang...!"
Devi menggumam tanpa henti.
Namun bukan pulang ke rumah orang tuanya, melainkan ke suatu tempat yang bahkan Husna tak tahu apa.
Mereka terus berjalan, menyusuri jalanan berbatu, melintasi ladang kosong, hingga tanpa sadar sampai di tepian sungai.
Udara dini hari begitu dingin menusuk tulang.
Husna menggigil, namun ia tetap menggenggam erat tangan Devi, yang kini mulai melangkah ke dalam sungai.
"Devi, sadar! Devi, jangan!"
Keduanya hampir hanyut dalam air yang mengalir deras, ketika tiba-tiba —
Adzan Subuh berkumandang dari kejauhan, menggema melintasi pepohonan.
Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Suara itu menembus keheningan, membelah kabut yang mencekam.
Tubuh Devi tersentak.
Matanya yang tadinya kosong perlahan berkedip, seolah terbangun dari mimpi panjang.
"Husna...? Kenapa aku di sini...?"
Suara Devi parau, penuh kebingungan.
Dengan sekuat tenaga, Husna menarik Devi keluar dari air, membalutnya dengan selimut seadanya.
Tanpa pikir panjang, keduanya berjalan cepat, berbalik arah menuju rumah Pak Faisal —
Mencari Haidar, mencari perlindungan,
Sementara di belakang mereka, bayangan gelap tetap mengawasi —
Tak pernah benar-benar pergi.
Saat fajar merekah di ufuk timur, warga menemukan Budi tergeletak di pinggir jalan, tubuhnya pucat, pakaiannya basah oleh embun malam.
Tanpa sadar, dia terus menggenggam tas kecil KKN-nya, seolah itu satu-satunya pelindung dari kegelapan.
Komentar