Bab10-11 Kampung Mayit

 Bab 10: Suara dari Kegelapan




Pagi itu, rumah Pak Faisal penuh ketegangan.

Haidar, Husna, Devi, dan Budi duduk berdekatan, wajah mereka pucat dan lelah setelah malam panjang yang menyesakkan.
Pak Faisal duduk di tengah, ditemani dosen pembimbing KKN mereka yang baru tiba pagi itu bersama dua staff kampus lainnya.

"Kita harus rapatkan ini cepat," ucap Pak Faisal serius.
"Kejadian semalam... sudah di luar batas nalar biasa."

Haidar bangkit dari duduknya, suaranya tegas walau lelah.

"Saya mengusulkan untuk memindahkan lokasi KKN, Pak. Ini terlalu berbahaya. Dan... saya juga mohon bantuan dari SAR kampus untuk mencari Roy. Dia sudah hilang lebih dari sehari."

Semua orang terdiam.

Baru saja dosen mengangguk hendak menyetujui, mendadak Jaza — yang tadi tampak tertidur di sudut ruangan — menggeram keras.

Semua mata serentak menoleh.

Jaza bangkit perlahan, gerakannya aneh, seperti boneka kayu.
Wajahnya tampak berbeda. Matanya merah, pandangan tajam menembus setiap orang.

"Kalian... mau lari?"
Suara Jaza terdengar berat dan penuh amarah.

"Jangan pernah pikirkan itu! Kalau kalian pergi, aku akan bunuh anak ini!!"

Jaza menunjuk dirinya sendiri dengan gerakan kasar, seakan ancaman itu nyata.
Devi menjerit kecil, Budi memeluk tas ranselnya erat-erat.

Haidar berdiri kaku, menahan gejolak di dadanya.

Pak Faisal mendekat perlahan, matanya tajam namun penuh kendali.
Dengan tenang, beliau mencoba berbicara, bukan pada Jaza, melainkan pada sesuatu yang lain.

"Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan dari anak ini?" tanya Pak Faisal lirih, penuh wibawa.

Beberapa detik hening.

Lalu Jaza menjawab,
Suaranya seolah bukan lagi suara manusia.

"Bukan aku yang memulai... Kalian yang tidak tahu diri... Kalian injak tanah ini tanpa hormat... Kalian cabik-cabik aturan kami..."

Pak Faisal mengangguk pelan.

"Lalu siapa yang paling berdosa?"

"Dia...
"Dia yang tak percaya... Dia yang sombong..."
Suaranya melengking, lalu tertawa kecil yang membuat bulu kuduk semua orang berdiri.

Semua tahu siapa yang dimaksud.
Roy.

Pak Faisal berusaha menenangkan.

"Biarkan anak ini," ujarnya.

Namun "makhluk" itu tertawa dingin.

"Belum. Hukuman belum selesai."

Sekejap kemudian, tubuh Jaza terhuyung, lalu roboh pingsan.

Pak Faisal menghela napas berat.

"Ini bukan gangguan biasa," katanya tegas.
"Ini akibat pelanggaran adat berat. Kita harus berhati-hati. Anak ini — Jaza — sudah terlanjur terbuka. Roy... entah dalam kondisi apa dia sekarang."

Dosen pembimbing mengangguk serius.

"Kami akan koordinasi dengan pihak kampus. Saya minta waktu beberapa jam. SAR akan dikerahkan. Dan... tentang pindah tempat, kita butuh pertimbangan matang. Bisa jadi, kita malah memperburuk keadaan kalau tidak izin adat lebih dulu."

Semua mengangguk pelan.

Di luar, angin bertiup kencang, menggoyangkan daun-daun kering.
Matahari terasa redup, seolah enggan bersinar penuh.

Di dalam dada setiap orang, terbersit rasa gentar.
Mereka kini sadar, bahwa mereka bukan hanya bertarung melawan rasa takut —
Mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih tua, lebih kuat, dan lebih gelap dari yang pernah mereka bayangkan.



Bab 11: Pencarian yang Membawa Petaka

Pagi itu, desa kecil itu mendadak ramai.
Tiga mobil SAR dari kota terparkir di balai desa, penuh dengan peralatan modern: peta, radio komunikasi, bahkan drone pengintai.

Pak Faisal, Pak Kromo, dan Haidar berdiri di depan, mencoba menjelaskan situasi.

"Kami mohon, pencarian ini tetap memperhatikan adat setempat," kata Pak Faisal tenang.
"Jangan sembarangan bicara, jangan sembarangan mengambil sesuatu..."_

Seorang ketua tim SAR, lelaki muda dengan kacamata hitam dan rompi penuh emblem, tersenyum tipis.

"Tenang saja, Pak. Kami profesional. Ini hanya kasus orang hilang biasa. Kami tahu prosedur."
Dia menepuk walkie-talkie di dadanya dengan percaya diri.

Pak Kromo saling pandang dengan Pak Faisal. Ada kecemasan yang sulit disembunyikan di wajah tua mereka.

Pencarian dimulai.

Tim SAR berpencar dalam tiga regu kecil, masing-masing membawa GPS dan radio.
Warga lokal dan beberapa pemuda desa ikut bergabung, dipandu oleh Pak Kromo.

Haidar, Husna, Devi, dan Budi tetap di posko darurat, berjaga dengan cemas.

Jam demi jam berlalu.

Pada awalnya, segalanya berjalan lancar.
Namun menjelang siang, sinyal komunikasi mulai bermasalah. Radio-radio berbunyi gemeretak aneh, dan suara-suara samar — seperti bisikan dalam bahasa yang tak dikenal — mulai merasuki saluran mereka.

Satu persatu, keanehan terjadi.

Seorang anggota SAR ditemukan terjatuh di jurang dangkal — padahal saat itu ia berjalan di tanah datar.
Seorang lagi ditemukan pingsan di bawah pohon besar, tubuhnya membiru seolah kekurangan oksigen, padahal udara di sekitarnya biasa saja.
Lainnya... hilang tanpa jejak, hanya meninggalkan jejak kaki yang berputar-putar di tempat yang sama.

Sore hari, laporan mengejutkan datang ke posko.

Tujuh anggota SAR — hilang atau ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
Tiga di antaranya ditemukan meninggal dunia tanpa luka fisik jelas, seolah jantung mereka berhenti begitu saja.
Empat lainnya ditemukan dalam keadaan sekarat, mata mereka membelalak tanpa bisa berkata sepatah kata pun, hanya mengerang ketakutan.

Pak Kromo dan beberapa warga lokal menarik mundur sisa tim SAR.
Pak Faisal menutup wajahnya, beristighfar panjang.

"Sudah saya bilang... ini bukan sekadar pencarian biasa..."

Malam itu, suasana kampung Mayit seperti mati.

Tak ada suara. Tak ada lampu rumah yang menyala.
Angin berhembus membawa aroma aneh, campuran tanah basah dan sesuatu yang membusuk.

Di posko, suasana lebih tegang dari sebelumnya.

Haidar menatap satu per satu wajah rekan-rekannya. Devi menggigil, Budi diam tak berkutik, Husna berusaha terus membaca doa dalam hatinya.

"Roy... apakah kau masih hidup...?" Haidar bergumam pelan, hampir tanpa suara.

Di luar, bulan tampak samar di balik kabut tebal.
Dan di kejauhan, samar-samar, terdengar suara tawa...
atau tangisan...
tak ada yang bisa membedakannya.

Misi pencarian berubah menjadi petaka.
Dan mereka semua mulai sadar —
Mungkin, kampung ini memang layak menyandang nama itu:
Kampung Mayit.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAKDIR DI UJUNG DOA BAB 5

Bab 1 -3 KAMPUNG MAYIT

Takdir di Ujung Doa BAB1