Bab 10-11Takdir di ujung Doa
Bab 10
"Batas yang Harus Dijaga"
Hari-hari berjalan seperti matahari yang malu-malu muncul di balik awan.
Di pesantren milik Fathan, Arkha mulai hadir lebih sering — mengisi ceramah, membantu membina santri, bahkan sesekali bertukar gagasan tentang pengembangan kurikulum keislaman.
Di luar mata banyak orang,
ada seutas benang tipis yang perlahan meregang —
menghubungkan dua hati yang dulu pernah saling mencari, kini bertemu kembali dalam keadaan serba salah.
Aku dan Arkha menjaga adab.
Senyum kami terbatas.
Kata-kata kami berhati-hati.
Namun dalam diam, ada riuh kecil yang menggerogoti keteguhan.
Malam-malam terasa lebih panjang.
Di layar ponsel, obrolan kecil sering mengalir —
tentang kitab kuning yang akan diajarkan,
tentang kisah para wali,
tentang visi besar membangun generasi.
Namun perlahan, kata-kata itu mulai melenceng.
Bukan pada isi,
tetapi pada rasa.
Ada tanya-tanya kecil yang terucap:
"Apakah kamu pernah merindukan masa lalu itu?"
"Apakah kau pernah membayangkan bagaimana kalau dulu kita diberi jalan berbeda?"
Pertanyaan-pertanyaan sederhana,
namun cukup untuk meretakkan benteng kesetiaan jika dibiarkan tumbuh.
Aku membaca pesan-pesan itu dengan jantung berdegup tak karuan.
Sekali, dua kali, aku membalas dengan kaku, berusaha tetap menjaga batas.
Namun aku tahu, jika terus dibiarkan, kami bisa tergelincir dalam dosa tanpa suara.
Malam itu,
di bawah langit yang penuh bintang, aku berdoa lebih lama dari biasanya.
"Ya Allah, peganglah hatiku... sebelum aku mengkhianati janji suci yang telah Kau saksi."
Esoknya, aku mengirim pesan terakhir kepada Arkha:
"Maafkan aku. Kita sudah berada dalam dunia yang berbeda.
Tali ukhuwah ini tetap kita jaga... tapi biarlah cinta yang tak pernah halal itu kita kuburkan dalam-dalam.
Demi Dia yang telah menitipkan janji dalam akad yang suci."
Tak ada balasan dari Arkha malam itu.
Hanya kesunyian yang terasa menggema di dada.
Tapi aku tahu, dalam sunyi itu, ada kesepakatan yang lebih mulia daripada seribu kata:
bahwa cinta yang sejati bukan hanya tentang memiliki,
tetapi tentang menjaga —
menjaga hati, menjaga iman, menjaga janji.
Dan aku memilih menjaga.
Biar cinta itu bersemayam,
bukan di dada manusia,
tetapi di bawah ridha Tuhan,
yang lebih tahu mana cinta yang harus diperjuangkan,
dan mana yang harus dilepaskan untuk menuju surga.
---
Bab 11
"Duka, Amanah, dan Janji yang Tetap Dijaga"
Malam itu, hujan turun tanpa ampun.
Seperti langit yang ikut menangis,
menggiring badai duka ke dalam hidupku.
Fathan...
lelaki yang kucintai dengan keikhlasan penuh,
yang kujadikan tempat bersandar dalam suka dan luka,
telah pergi —
menghadap Tuhannya dalam kecelakaan yang tak seorang pun pernah bisa prediksi.
Dunia terasa redup.
Seluruh pesantren berduka.
Santri-santri menangis dalam sujud panjang mereka,
sementara aku...
aku hanya mampu memandang pusara itu dengan hening yang nyaris membunuhku perlahan.
Dalam hari-hari kelabu itu,
pengurus pesantren berembuk.
Mereka butuh sosok kuat untuk menjaga warisan Fathan —
dan semua mata tertuju pada satu nama: Arkha.
Dengan ilmu agamanya yang dalam,
dengan kharisma yang lembut,
Arkha menerima amanah itu —
bukan untuk merebut,
melainkan untuk menjaga.
Tapi Tuhan menguji kami lebih berat.
Kini, kami bukan hanya sekadar teman lama yang terjebak dalam nostalgia.
Kini, aku seorang janda muda yang rapuh,
dan dia adalah lelaki yang pernah mencintaiku dalam diam,
kini berdiri di sisiku, terlalu dekat, terlalu nyata.
Setiap sore, di serambi pesantren, kami berbincang soal administrasi, program dakwah, pendidikan santri.
Kalimat kami berbalut adab.
Mata kami tak pernah berani bertahan lama dalam tatapan.
Namun jiwa kami tahu — badai rasa itu kembali menderu.
Ada malam-malam di mana aku terisak dalam sujud panjangku.
Bukan karena takut pada cinta itu,
tetapi karena takut pada kelemahanku sendiri.
Arkha pun tahu.
Ia menjaga jarak sekuat tenaganya,
sering mengutus perantara saat perlu menyampaikan sesuatu,
lebih memilih berbicara singkat dan langsung pada intinya.
Suatu sore, di bawah pohon tua halaman pesantren, saat kami menyelesaikan laporan bulanan,
Arkha berkata lirih, hampir seperti berbisik:
"Naya... aku bukan datang untuk mengambil.
Aku datang untuk menjaga.
Menjaga amanah, menjaga kehormatan, menjaga batas yang telah Allah tentukan.
Biarlah hati ini mencintai dalam diam.
Biarlah doa ini yang berbicara, bukan keinginan manusia."
Aku menunduk, air mataku jatuh tanpa suara.
Di antara hujan, duka, dan rasa yang belum padam,
kami memilih untuk tetap setia pada satu hal:
pada janji suci yang lebih besar dari rasa —
janji untuk tetap berada dalam batasan yang Allah ridai.
Karena kami tahu,
cinta yang sejati bukan tentang bersatu,
tetapi tentang bertahan di jalan yang benar,
meski harus berdarah-darah menahan rindu.
---
Komentar