Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

Bab 7 Kampung Mayit

Gambar
  Bab 7: Malam Yang Tak Bertuan Malam semakin pekat saat Haidar, ditemani Husna dan Budi yang setengah gemetar, melangkah cepat menuju rumah Pak Hamim, kepala desa. Langkah mereka diseret angin dingin yang seolah mengawasi dari balik pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Dengan suara tertahan, Haidar menceritakan apa yang terjadi — tentang Roy yang hilang tanpa jejak, tentang tingkah laku Devi dan Jaza yang kian ganjil. Pak Hamim menghela napas berat, pandangannya kelam. "Kita harus gerak cepat," katanya. "Aku akan hubungi Pak Kromo. Kita cari Roy malam ini juga." Tak lama kemudian, Pak Kromo datang dengan wajah keras dan pandangan tajam. Mereka kembali ke rumah tinggal KKN bersama beberapa orang kampung, membawa lampu petromaks yang mengusir sebagian kecil dari kegelapan yang terasa menelan dunia. Namun, setibanya di sana, suasana menjadi lebih buruk dari yang dibayangkan. Di ruang tamu, Jaza tengah terduduk, tubuhnya menggigil aneh. Wajahnya menunduk, ra...

Bab 9 Takdir di Ujung Doa

Gambar
  Bab 9 "Tali Silaturahim yang Menyimpan Luka" Udara sore itu beraroma tanah basah. Langit mulai memerah, seakan malu melihat apa yang diam-diam bergemuruh di dada kami. Reuni berakhir dengan derai tawa, peluk tangan, dan janji untuk tidak lagi terlalu lama melupakan satu sama lain. Aku, Fathan, dan Arka bertemu di lorong kecil dekat taman belakang pondok — seolah takdir sengaja mempertemukan kami sekali lagi sebelum hari benar-benar gelap. Arka mendekat dengan langkah santun, menundukkan pandangannya penuh hormat kepada Fathan. "Bang Fathan," sapanya dengan suara rendah, "jika suatu saat membutuhkan bantuan untuk mengembangkan pesantren... saya siap. Tenaga, pikiran, apa pun yang bisa saya lakukan." Fathan tersenyum hangat, menepuk pundaknya, "Syukron, Arka. InsyaAllah, ukhuwah kita tetap terjaga." Aku hanya berdiri di sisi Fathan, menggenggam tangan suamiku lebih erat. Tapi jantungku berdetak lebih kencang, tanpa bisa kuperintah. Dal...

Bab 8 Takdir di Ujung Doa

Gambar
  "Pertemuan yang Tak Lagi Sama" Hari itu langit mendung tipis, seolah menyimpan rintik-rintik yang enggan jatuh. Kami berkumpul di halaman pondok pesantren lama, tempat segala mimpi pernah bertumbuh — juga tempat beberapa mimpi harus dikuburkan dalam-dalam. Acara reuni ini bukan sekadar pertemuan teman lama. Ada tradisi sakral: ziarah ke makam para wali yang menjadi bagian dari sejarah pondok ini. Ratusan santri berdatangan, membawa tasbih, membawa kenangan, membawa harapan. Aku menggenggam erat tangan Fathan, merasa lebih tenang dengan sentuhan hangatnya di sela-sela telapak tanganku. Kami berjalan beriringan, bersama rombongan lain, menuju makam para kiai pendiri pondok. Dan di antara kerumunan, mataku menangkap sosok itu. Arka. Aku mengenalinya secepat aku mengenali desah napasku sendiri. Ia tampak gagah, lebih dewasa, membawa seorang wanita bersyal putih — istrinya — dan seorang anak kecil yang menggenggam tangannya dengan polos. Waktu seakan berhenti berd...

Bab 6 KAMPUNG MAYAT

Gambar
  Bab 6: Yang Tertinggal Pagi itu, suasana rumah sudah berat sejak matahari terbit. Devi duduk bersila di pojokan, menggumamkan kata-kata tak jelas. Matanya kosong, sesekali tersenyum sendiri. Jaza, yang biasanya pendiam, malah mondar-mandir sambil bergumam dengan bahasa yang tidak dimengerti Budi. Melihat keadaan yang kian memburuk, Haidar mengambil keputusan. "Kita harus cari bantuan," ujarnya mantap. Tanpa banyak bicara, Husna segera mengambil jilbabnya. Mereka sepakat meninggalkan Budi untuk menjaga Devi dan Jaza sementara mereka menemui Pak Kromo dan Pak Faisal. "Jangan buka pintu untuk siapa pun selain kami," pesan Haidar pada Budi sebelum pergi. Budi hanya mengangguk ragu, hatinya tak enak. Di rumah Pak Kromo, suasana terasa berat. Pak Kromo, dengan sorot mata tua yang penuh rahasia, mendengarkan penuturan Haidar dan Husna dengan seksama. "Apa yang datang pada mereka, bukan sekadar bayangan..." ucapnya lirih. "Itu adalah penagihan. S...

BAB 4 -5 KAMPUNG MAYIT

Gambar
  Bab 4: Pesan yang Terabaikan <script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1647140347148578"      crossorigin="anonymous"></script> Hari-hari berikutnya berjalan dalam ketegangan yang semakin menebal, meski aktivitas KKN tetap harus dilaksanakan. Pagi itu, Devi membantu membuat kerajinan tangan bersama ibu-ibu desa, tapi tangannya gemetar saat menggulung anyaman daun pandan. "Ada yang mengawasi... ada yang mengawasi..." bisiknya lirih tanpa sadar. Haidar, yang memperhatikan dari jauh, merasa Devi makin hari makin berbeda. Matanya sayu, kadang kosong, kadang seperti berbicara sendiri. Jaza pun mulai memperlihatkan keanehan. Saat Budi sibuk mengambil dokumentasi foto-foto kegiatan, ia merekam Jaza sedang berbicara sendiri di sudut balai desa. "Metu... metu... dudu sak kene..." (Pergi... pergi... ini bukan tempatmu...) Budi yang ketakutan segera memanggil Haidar. Namun saat dih...

Bab 1 -3 KAMPUNG MAYIT

Gambar
  Bab 1: Gerbang Kampung Mayit Langit mulai menggelap saat mobil tua yang mereka tumpangi berguncang pelan memasuki jalanan berbatu. Pohon-pohon besar berjajar di kanan-kiri, seakan membentuk lorong sunyi yang mengantar mereka ke suatu tempat asing. "Gerbang itu..." gumam Husna, matanya membelalak saat melihat sebuah gapura reyot berdiri di depan mereka. Di atas gerbang, tulisan pudar itu terbaca samar di bawah lampu remang: Kampung Mayit . Suasana mendadak hening. Angin malam mengirim bisikan aneh, mengibaskan rambut Devi yang langsung merapat ke Haidar. Wajahnya pucat pasi. "Apa-apaan sih ini? Nama kampung kok kayak judul film horor," bisik Devi dengan suara bergetar. Roy malah tertawa keras, menepuk-nepuk pundak Budi yang sudah setengah bersembunyi di balik tasnya. "Ah, kalian ini cemen amat. Ini pasti trik buat nakut-nakutin pendatang." "Roy, jaga sikapmu," tegur Haidar, nada suaranya tenang tapi tegas. Sebagai ketua kelompok, ia merasa ...

SINOPSIS — KAMPUNG MAYIT

Gambar
  SINOPSIS — KAMPUNG MAYIT Sebuah program Kuliah Kerja Nyata (KKN) membawa enam mahasiswa ke sebuah desa terpencil bernama Kampung Mayit — sebuah tempat yang dari namanya saja sudah menebarkan aroma kematian. Pada awalnya, mereka mengira semua kisah mistis yang beredar hanyalah mitos belaka. Namun perlahan, keganjilan-keganjilan mulai terjadi: bisikan di malam hari, langkah-langkah tanpa wujud, hingga mimpi buruk yang membekas dalam kenyataan. Roy — yang arogan dan mengabaikan nasihat adat — menjadi pusat dari segala petaka. Devi mulai kehilangan kendali atas pikirannya, Jaza menunjukkan tanda-tanda kerasukan yang mengerikan, sedangkan Budi , Husna , dan Haidar berusaha bertahan di antara teror yang semakin nyata. Ketika pencarian Roy menyeret banyak korban, termasuk dari tim SAR profesional, terkuaklah rahasia kelam: Kampung Mayit dulunya adalah ladang pembantaian , tempat para arwah bergentayangan, terikat dalam perjanjian gaib yang nyaris dilupakan. Di puncak kepu...

Takdir di Ujung Doa Bab 7

Gambar
"Saat Takdir Menyelipkan Luka" (POV Naya) Aku masih ingat hari itu, hari di mana semua doa-doaku menggantung setengah jalan, karena Tuhan menjawabnya dengan cara yang tidak pernah kumengerti. Sore itu, Ayah memanggilku ke ruang tamu. Di sana, duduk seorang lelaki yang belum pernah kulihat sebelumnya — Fathan — dengan sorot mata tenang dan senyum yang begitu santun. "Anakku, Naya...," suara Ayah berat, tapi hangat. "Kami sudah bermusyawarah. InsyaAllah, Fathan adalah lelaki pilihan yang terbaik untukmu." Aku hanya diam. Di dadaku, suara gemuruh lain berteriak-teriak — sebuah nama yang selama ini kutanam dalam diam: Arka. Aku pernah bermimpi tentang hari itu, tapi dalam mimpiku, yang duduk di hadapanku bukanlah lelaki ini, melainkan seseorang yang sudah lama kusembunyikan dalam lapisan-lapisan takdir yang rapuh. Aku menunduk. Jilbabku terasa lebih berat dari biasanya. Suaraku tercekat di tenggorokan. "Bagaimana, Naya?" tanya Ibu ...

Takdir di Ujung Doa Bab 6

Gambar
  Bab 6 "Kata yang Menyentuh Luka Tersembunyi" Malam itu hujan turun perlahan, seperti irama doa-doa yang diam-diam dipanjatkan di sela kegelisahan. Aku duduk di ruang tamu, memintal benang jahitan di tanganku yang sebenarnya tak perlu-perlu amat diperbaiki. Sekadar mencari alasan untuk sibuk, agar pikiranku tak perlu menari-nari lagi di atas nama yang seharusnya sudah lama kukubur dalam sujud. Fathan duduk di seberangku, membaca kitab kuning dengan kaca mata tipisnya. Wajahnya tenang — selalu tenang, seperti danau yang mampu memantulkan langit tanpa sedikit pun berguncang. Sesekali, ia mengangkat wajah, memandangku lama. Tatapan itu bukan tatapan curiga, bukan pula marah. Hanya tatapan seorang lelaki yang sudah terlalu dalam memahami perempuan yang ia cintai. "Ada yang ingin kau ceritakan, Naya?" Suaranya rendah, dalam, namun penuh kelembutan. Aku menggeleng, memaksa senyum tipis. "Tak ada apa-apa, Abang." Ia tersenyum, senyum yang justru...

TAKDIR DI UJUNG DOA BAB 5

Gambar
  Bab 5 "Kehormatan yang Dipertahankan dalam Diam" Pagi di rumah kami selalu sederhana. Suamiku, Fathan, menyeduh kopi hitam seperti biasa, sementara aku menyapu halaman kecil yang dihiasi bunga-bunga kertas pemberian tetangga. Kami tidak hidup dalam kemewahan, tapi juga tidak pernah berkekurangan. Cukuplah rumah mungil ini menjadi saksi bisu tawa-tawa kami, doa-doa panjang yang kami panjatkan selepas isya, dan bisikan syukur setiap kali matahari terbit membawa harapan baru. Fathan, dengan jubah putih dan tasbih yang jarang lepas dari tangannya, adalah lelaki yang menghidupkan agama bukan hanya di lisannya, tetapi juga dalam caranya memperlakukanku: dengan sabar, dengan penuh kasih, dan dengan hormat yang membuatku merasa dimuliakan. Meski rumah kami masih sunyi dari tawa anak-anak, tak pernah sekalipun kudengar keluhan keluar dari bibirnya. Setiap malam, ia berdoa panjang, suaranya lirih, namun aku tahu... doa-doa itu selalu menyebut namaku dengan penuh cinta. Ak...

Takdir di Ujung Doa Bab 4

Gambar
  Bab 4 "Rasa yang Belum Bernama" Dulu, sebelum dunia menjadi serumit sekarang, sebelum janji-janji diucapkan dan hati-hati disakiti, kami hanya dua jiwa muda di sebuah pesantren ternama, belajar mencari makna hidup, tanpa tahu bahwa kelak hidup kami akan saling bertaut tanpa pernah benar-benar bersatu. Aku mengenalnya dari kejauhan. Bukan melalui kata, bukan melalui sapa. Hanya tatapan sekilas di koridor mushalla, atau saat antri di perpustakaan usai shalat maghrib. Naya, dengan gamis biru langit dan kerudung yang selalu rapi, seolah membawa keteduhan ke mana pun ia melangkah. Ada cara dia menundukkan pandangan, menjaga sikap, membuat siapa pun segan sekaligus diam-diam mengagumi. Aku? Aku hanya remaja biasa, mencoba menjadi alim, namun diam-diam berperang melawan sesuatu yang belum kumengerti: rasa yang muncul setiap kali bayangnya melintas di pelupuk mata. Tidak ada kata-kata yang keluar. Tidak ada sapaan yang menodai adab. Hanya sebuah rahasia kecil yang ...

Takdir di Ujung Doa Bab 3

Gambar
  Bab 3 "Kesetiaan yang Membebat Luka" Malam itu, langit seperti mengerti gelisahku — tanpa bintang, hanya hitam yang kosong. Aku duduk di beranda rumah, ditemani secangkir kopi yang mendingin, dan pikiran yang semakin memanas oleh bayangannya. Naya. Nama itu mengendap di dadaku, bukan sebagai dosa, tapi sebagai doa yang tak pernah kutuntaskan. Aku mencintainya, dalam bentuk cinta yang tak menginginkan, tak meminta, hanya merelakan. Ponselku berbunyi, satu pesan dari Naya: "Semoga kita kuat, untuk tidak merusak apa yang telah Tuhan berkahi." Aku tersenyum getir. Ia selalu tahu cara menjaga jarak, bahkan dalam kata-kata. Aku mengetik balasan, lama sekali: "Cinta yang benar, Naya, adalah yang sanggup berdiri dalam badai tanpa pernah melukai perahu lain yang sedang berlayar." Aku bukan lelaki yang sempurna. Tapi aku tahu: setia bukan hanya soal bertahan pada satu nama, melainkan juga bertahan pada janji suci yang sudah kuucapkan di hadapan Tuha...

Takdir di Ujung Doa bab 2

Gambar
  Bab 2 "Takdir yang Tidak Bisa Dipilih" Langit sore itu seperti lukisan yang dilupakan Tuhan di sudut kanvas dunia — pucat, namun tetap indah dalam keheningan. Aku duduk sendirian di sudut aula, sementara Naya melangkah perlahan ke arahku, membiarkan suaranya mengisi ruang kosong di antara kami. "Setiap jiwa," katanya pelan, "sudah digariskan jalannya, bahkan sebelum ia sempat memilih siapa yang akan ia cinta." Aku hanya menatap, membiarkan setiap katanya meresap ke dalam dada yang entah kenapa terasa semakin sempit. Naya menatapku dengan mata teduh, matanya bukan mata seorang perempuan lemah, melainkan mata yang pernah berperang — dan menang — melawan takdir yang menyakitkan. "Arka..." Ia menyebut namaku seolah-olah itu adalah sebuah doa yang hanya boleh diucapkan sekali, lalu disimpan selamanya. "Ada rasa yang harus cukup dipeluk dalam diam. Karena tidak semua yang kita rindukan, harus kita genggam." Aku menunduk. Aku kalah...

Takdir di Ujung Doa BAB1

Gambar
  Karya Nizam mahbub  20 april 2025  --- Judul: "Takdir di Ujung Doa"                                   Sinopsis  > Dalam setiap sujudnya, Naya membisikkan nama yang tak pernah ia sebutkan pada dunia. Dulu, cinta itu terlahir diam-diam di balik tembok pesantren—suci, malu-malu, dan penuh harap. Takdir memisahkan mereka, menempatkan Naya dalam pelukan pria lain yang shalih, hingga akhirnya kembali sendiri, berteman sepi. Saat Arkha hadir lagi, dengan luka yang tak terlihat dan cinta yang tak padam, keduanya dihadapkan pada pilihan berat antara menjaga janji suci atau mengikuti getar hati yang sudah lama membatu. Di ujung doa, mereka memahami: cinta sejati adalah tentang merelakan, menunggu, dan menyerahkan segalanya pada kehendak Tuhan.                                     Bab 1 "Pertemuan yan...