Postingan

Bab 12-14 Takdir di Ujung Doa

Gambar
  Bab 12 "Kepekaan Hati Seorang Istri" Rumah tangga Arkha dan istrinya, Hana, berjalan dalam kedamaian yang berlandaskan iman. Hana bukan sekadar istri di atas kertas; dia adalah sahabat dalam doa, teman dalam perjuangan, dan penyejuk dalam badai kehidupan. Namun perempuan yang kuat agamanya, juga diberikan Allah sebuah karunia: hati yang tajam dalam merasakan. Tanpa perlu banyak kata, Hana membaca gelisah di mata suaminya. Ada sesuatu yang bergetar pelan setiap kali nama Naya disebut, ada tatapan kosong yang kadang menahan kenangan — kenangan yang tidak pernah sempat mati. Suatu malam, ketika bintang bertaburan malu-malu di langit, Hana memecah keheningan. Dengan suara lembut namun tegas, ia duduk di samping Arkha, memandang wajah suaminya yang teduh namun lelah menahan rasa. "Abang..." sapanya lirih. "Aku tahu... hati abang menyimpan sesuatu yang belum sepenuhnya bisa dipadamkan." Arkha terdiam. Nafasnya terasa berat. Dibalik tena...

Bab 13-14 Kampung Mayit

Gambar
  Bab 13: Langkah Terakhir untuk Menemukan Roy Langit kampung Mayit mendung pekat, seakan mencerminkan keresahan yang semakin mendalam di hati semua orang yang terlibat dalam pencarian Roy. Setelah berhari-hari hilang tanpa jejak, harapan semakin tipis. Namun, mereka tidak menyerah. Upaya pencarian terus dilakukan, dan mereka tahu waktu semakin berharga. Pak Faisal, sebagai tokoh agama yang dihormati, memutuskan untuk memanfaatkan kemampuan Jaza yang sudah beberapa kali kerasukan. Kali ini, Jaza tidak hanya sekadar menjadi korban, tetapi menjadi kunci untuk menghubungkan dunia nyata dengan dunia lain. "Kita harus memanfaatkan segala yang ada," kata Pak Faisal dengan tegas, meski hati dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran. "Jaza bisa menjadi perantara untuk mencari Roy. Kita tidak punya pilihan lain." Jaza yang dalam kondisi kesurupan mulai bicara dengan suara yang berat dan asing. "Roy... terjebak... jauh di tempat yang tidak bisa dijangkau manusia..." ...

Bab 12 Kampung Mayit

Gambar
  Bab 12: Sejarah Tersembunyi Kampung Mayit Suasana pagi itu semakin mencekam. Setelah kematian tragis anggota SAR, warga desa dan aparat kepolisian setempat bergerak cepat untuk mengevakuasi jenazah korban. Sementara itu, Pak Faisal dan Pak Kromo masih berusaha keras untuk menjelaskan kejadian yang semakin tak masuk akal ini kepada pihak berwenang. Di rumah Pak Faisal, Haidar, Husna, Devi, dan Budi duduk dengan cemas. Jaza masih dalam kondisi aneh, tubuhnya kaku, mata kosong, dan mulutnya seakan berbicara bahasa yang tak mereka pahami. Meski demikian, ada satu hal yang bisa mereka pahami dari perkataan Jaza yang kerasukan — ada sesuatu yang sangat penting untuk mereka ketahui tentang kampung ini. Pak Faisal akhirnya memutuskan untuk menceritakan sebuah kisah lama, sejarah yang selama ini tersimpan rapat-rapat oleh para tetua desa. "Kampung ini dulunya tidak seperti yang kalian lihat sekarang. Dulu, sebelum ada perkampungan, ini adalah tempat yang sangat terlarang... "_ ka...

Bab10-11 Kampung Mayit

Gambar
  Bab 10: Suara dari Kegelapan Pagi itu, rumah Pak Faisal penuh ketegangan. Haidar, Husna, Devi, dan Budi duduk berdekatan, wajah mereka pucat dan lelah setelah malam panjang yang menyesakkan. Pak Faisal duduk di tengah, ditemani dosen pembimbing KKN mereka yang baru tiba pagi itu bersama dua staff kampus lainnya. "Kita harus rapatkan ini cepat," ucap Pak Faisal serius. "Kejadian semalam... sudah di luar batas nalar biasa." Haidar bangkit dari duduknya, suaranya tegas walau lelah. "Saya mengusulkan untuk memindahkan lokasi KKN, Pak. Ini terlalu berbahaya. Dan... saya juga mohon bantuan dari SAR kampus untuk mencari Roy. Dia sudah hilang lebih dari sehari." Semua orang terdiam. Baru saja dosen mengangguk hendak menyetujui, mendadak Jaza — yang tadi tampak tertidur di sudut ruangan — menggeram keras. Semua mata serentak menoleh. Jaza bangkit perlahan, gerakannya aneh, seperti boneka kayu. Wajahnya tampak berbeda. Matanya merah, pandangan tajam me...

Bab 10-11Takdir di ujung Doa

Gambar
  Bab 10 "Batas yang Harus Dijaga" Hari-hari berjalan seperti matahari yang malu-malu muncul di balik awan. Di pesantren milik Fathan, Arkha mulai hadir lebih sering — mengisi ceramah, membantu membina santri, bahkan sesekali bertukar gagasan tentang pengembangan kurikulum keislaman. Di luar mata banyak orang, ada seutas benang tipis yang perlahan meregang — menghubungkan dua hati yang dulu pernah saling mencari, kini bertemu kembali dalam keadaan serba salah. Aku dan Arkha menjaga adab. Senyum kami terbatas. Kata-kata kami berhati-hati. Namun dalam diam, ada riuh kecil yang menggerogoti keteguhan. Malam-malam terasa lebih panjang. Di layar ponsel, obrolan kecil sering mengalir — tentang kitab kuning yang akan diajarkan, tentang kisah para wali, tentang visi besar membangun generasi. Namun perlahan, kata-kata itu mulai melenceng. Bukan pada isi, tetapi pada rasa. Ada tanya-tanya kecil yang terucap: "Apakah kamu pernah merindukan masa lalu itu?" ...

Bab 9 Kampung Mayit

Gambar
  Bab 9: Tersesat Dalam Gelap Budi berjalan tergesa-gesa di jalan setapak, menembus pekat malam yang terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Di atas kepalanya, bulan setengah tertutup awan kelabu, dan setiap langkahnya seolah menggema dalam kesunyian yang mencekam. Niatnya sederhana: menyusul Haidar ke rumah Pak Faisal. Namun, seiring waktu, jalan yang ia lewati terasa semakin asing, meski Budi yakin dia terus mengambil jalur yang sama. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Hatinya berdegup cepat ketika dari sudut matanya, ia merasa bayangan-bayangan hitam mengikuti langkahnya — bergerak seirama, bersembunyi di balik pepohonan. "Ini cuma halusinasi... ini cuma halusinasi..." Budi menggumamkan mantra itu berkali-kali, namun ketakutannya semakin menjadi. Suara bisikan samar mulai terdengar, memanggil namanya perlahan. Langkah kakinya bertambah cepat, hampir berlari. Namun... anehnya, ia selalu kembali ke tempat yang sama — sebuah pertigaan kecil dengan batu besar berl...

Bab 8 Kampung Mayit

Gambar
  Bab 8: Sendiri Dalam Ketakutan Angin malam menyusup masuk dari sela-sela papan rumah tua itu, membawa serta aroma tanah basah yang anehnya berbau besi. Husna duduk bersila, membelakangi Devi yang masih bergumam entah apa, sesekali tertawa kecil lalu mendadak menangis. Dalam gemetar, bibir Husna tak berhenti menggumamkan doa, ayat-ayat suci yang dia hafal sejak kecil. Di sudut lain, Budi meringkuk, tubuhnya menggetar hebat. Matanya liar memandang ke sekeliling ruangan, seakan setiap bayangan di dinding bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih menyeramkan dari sekadar ilusi. Lampu minyak bergoyang, menciptakan tarian bayang-bayang yang seolah mengejek ketakutan mereka. "Husna... aku... aku gak kuat," bisik Budi, suaranya hampir tak terdengar. Husna menoleh sebentar, mencoba menenangkan dengan tatapan, tapi dia sendiri tahu matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan. "Sabar, Budi... kita tunggu Haidar pulang..." Namun keteguhan itu tak mampu menahan ketakutan...

Bab 7 Kampung Mayit

Gambar
  Bab 7: Malam Yang Tak Bertuan Malam semakin pekat saat Haidar, ditemani Husna dan Budi yang setengah gemetar, melangkah cepat menuju rumah Pak Hamim, kepala desa. Langkah mereka diseret angin dingin yang seolah mengawasi dari balik pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Dengan suara tertahan, Haidar menceritakan apa yang terjadi — tentang Roy yang hilang tanpa jejak, tentang tingkah laku Devi dan Jaza yang kian ganjil. Pak Hamim menghela napas berat, pandangannya kelam. "Kita harus gerak cepat," katanya. "Aku akan hubungi Pak Kromo. Kita cari Roy malam ini juga." Tak lama kemudian, Pak Kromo datang dengan wajah keras dan pandangan tajam. Mereka kembali ke rumah tinggal KKN bersama beberapa orang kampung, membawa lampu petromaks yang mengusir sebagian kecil dari kegelapan yang terasa menelan dunia. Namun, setibanya di sana, suasana menjadi lebih buruk dari yang dibayangkan. Di ruang tamu, Jaza tengah terduduk, tubuhnya menggigil aneh. Wajahnya menunduk, ra...

Bab 9 Takdir di Ujung Doa

Gambar
  Bab 9 "Tali Silaturahim yang Menyimpan Luka" Udara sore itu beraroma tanah basah. Langit mulai memerah, seakan malu melihat apa yang diam-diam bergemuruh di dada kami. Reuni berakhir dengan derai tawa, peluk tangan, dan janji untuk tidak lagi terlalu lama melupakan satu sama lain. Aku, Fathan, dan Arka bertemu di lorong kecil dekat taman belakang pondok — seolah takdir sengaja mempertemukan kami sekali lagi sebelum hari benar-benar gelap. Arka mendekat dengan langkah santun, menundukkan pandangannya penuh hormat kepada Fathan. "Bang Fathan," sapanya dengan suara rendah, "jika suatu saat membutuhkan bantuan untuk mengembangkan pesantren... saya siap. Tenaga, pikiran, apa pun yang bisa saya lakukan." Fathan tersenyum hangat, menepuk pundaknya, "Syukron, Arka. InsyaAllah, ukhuwah kita tetap terjaga." Aku hanya berdiri di sisi Fathan, menggenggam tangan suamiku lebih erat. Tapi jantungku berdetak lebih kencang, tanpa bisa kuperintah. Dal...

Bab 8 Takdir di Ujung Doa

Gambar
  "Pertemuan yang Tak Lagi Sama" Hari itu langit mendung tipis, seolah menyimpan rintik-rintik yang enggan jatuh. Kami berkumpul di halaman pondok pesantren lama, tempat segala mimpi pernah bertumbuh — juga tempat beberapa mimpi harus dikuburkan dalam-dalam. Acara reuni ini bukan sekadar pertemuan teman lama. Ada tradisi sakral: ziarah ke makam para wali yang menjadi bagian dari sejarah pondok ini. Ratusan santri berdatangan, membawa tasbih, membawa kenangan, membawa harapan. Aku menggenggam erat tangan Fathan, merasa lebih tenang dengan sentuhan hangatnya di sela-sela telapak tanganku. Kami berjalan beriringan, bersama rombongan lain, menuju makam para kiai pendiri pondok. Dan di antara kerumunan, mataku menangkap sosok itu. Arka. Aku mengenalinya secepat aku mengenali desah napasku sendiri. Ia tampak gagah, lebih dewasa, membawa seorang wanita bersyal putih — istrinya — dan seorang anak kecil yang menggenggam tangannya dengan polos. Waktu seakan berhenti berd...

Bab 6 KAMPUNG MAYAT

Gambar
  Bab 6: Yang Tertinggal Pagi itu, suasana rumah sudah berat sejak matahari terbit. Devi duduk bersila di pojokan, menggumamkan kata-kata tak jelas. Matanya kosong, sesekali tersenyum sendiri. Jaza, yang biasanya pendiam, malah mondar-mandir sambil bergumam dengan bahasa yang tidak dimengerti Budi. Melihat keadaan yang kian memburuk, Haidar mengambil keputusan. "Kita harus cari bantuan," ujarnya mantap. Tanpa banyak bicara, Husna segera mengambil jilbabnya. Mereka sepakat meninggalkan Budi untuk menjaga Devi dan Jaza sementara mereka menemui Pak Kromo dan Pak Faisal. "Jangan buka pintu untuk siapa pun selain kami," pesan Haidar pada Budi sebelum pergi. Budi hanya mengangguk ragu, hatinya tak enak. Di rumah Pak Kromo, suasana terasa berat. Pak Kromo, dengan sorot mata tua yang penuh rahasia, mendengarkan penuturan Haidar dan Husna dengan seksama. "Apa yang datang pada mereka, bukan sekadar bayangan..." ucapnya lirih. "Itu adalah penagihan. S...